Banyak penulis pemenang nobel yang harus bersembunyi dan kucing- kucingan dengan penguasa agar nyawanya tetap selamat, sebab sepanjang hidupnya dia merasa ketakutan oleh ancaman teror, ancaman pembunuhan dan siksaan bathin karena prinsip hidupnya tidak sejalan dengan lingkungan tempat ia tinggal.
Arswendo Atmowiloto pernah merasakan dinginnya lantai penjara akibat aktivitas jurnalistiknya waktu itu dan karena tekanan publik ia mesti bertanggung jawab atas rubrik yang menuai kontroversi dan akhirnya jeruji besilah yang membuatnya semakin matang menekuni dunia literasi.
Penderitaan panjang mesti dilewati sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer. Hidup di Pulau Buru, dicap komunis, stigma yang menempel dalam dirinya membuat buku-bukunya sering di breidel, dilenyapkan dan dipojokkan sebagai buku dengan pemikiran kekiri-kirian. Tentu tidak sesuai dengan iklim demokrasi yang dipegang penguasa waktu itu.
Penderitaan Milik Semua Orang
Penderitaan itu bukan hanya milik orang miskin. Orang kayapun pasti pernah mengalami penderitaan. Banyak orang kaya susah tidur karena memikirkan harta kekayaannya, tekanan bertubi-tubi karena banyak mata-mata, mafia, preman-preman, pejabat-pejabat.Â
Mereka yang memanfaatkan kekayaannya untuk mencari dana politik, mengirim proposal dana bantuan kemanusiaan atau sekedar upeti dari berbagai usaha yang akan lancar jika ada fulus yang harus disetor sehingga ketika ia menggelapkan pajak, merekayasa harta kekayaannya lolos dari ancaman sanksi hukum, pajak dan syarat-syarat lainnya sehingga hartanya akan tergerus oleh gangguan- gangguan di sekitarnya yang membuat hidupnya tidak tenang.
Jadi jika melihat banyak orang kaya selalu memposting foto-foto kebahagiaannya bisa jadi hanya untuk menghibur diri dari tekanan luar biasa yang sedang dihadapi.
Bahagia Tidak Identik Kaya
Menjadi bahagia itu ternyata tidak harus menjadi kaya. Menjadi bahagia itu ketika manusia mensyukuri apapun keadaan dirinya. Bersyukur atas penderitaan yang sedang ia sandang, bersyukur bahwa ternyata hidupnya masih lebih baik dari manusia lain yang cacat, miskin , dengan anaknya yang menderita penyakit, tidak mempunyai sandang papan. Rasa syukur itu muncul ketika dalam banyak tantangan hidup yang mesti dilewati manusia masih beruntung bisa tertawa, bersenda gurau dan tersenyum.
Tidak ada manusia tanpa tantangan hidup. Kemiskinan bukan alasan untuk tidak pernah merasakan kebahagiaan. Dalam iman katolik ada salib kehidupan yang mesti dipanggul. Salib itu harus dimaknai bukan sebagai beban tetapi sebagai ujian, cobaan yang mesti dilalui, tidak dihindari. Sebab dengan melalui tantangan kehidupan manusia akan semakin dewasa bersikap menghadapi berbagai penderitaan yang disandang.
Ketika banyak orang akhirnya tidak kuat merasakan penderitaan bertubi-tubi hingga harus memotong penderitaan dengan bunuh diri bukan berarti di kehidupan lain ia menjadi bahagia. Tentu jiwanya harus menerima buah kelakuannya, tetap harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Maha Pencipta.