Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru dan Buruh dalam Pusaran Politik

2 Mei 2018   19:58 Diperbarui: 2 Mei 2018   22:33 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.shutterstock.com

Maaf, kalau aku tidak terlalu paham tentang kehidupan buruh yang sebenarnya, tidak seperti Wiji Tukul yang sangat meresapi bagaimana suka duka buruh dan perjuangannya agar tetap bisa bertahan hidup di kota dengan banyak tuntutan serta barang-barang kebutuhan dasar yang semakin mahal. 

Aku dari keluarga guru, meskipun bukan orang kaya tapi pernah merasakan beratnya upah kecil yang diterima guru sekitar 1970 an. Gaji yang terpotong-potong oleh utang dan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, hiburan serta papan. 

Masih untung keluargaku hidup di desa yang kebutuhan pangannya bisa ditutupi dengan hasil pertanian meskipun hasil sawah dan kebun itu tidak seberapa.

Hal yang membuatku merasa kaya karena guru mempunyai koleksi buku -- buku yang mampu membuka mata jiwa dan pengetahuan. Karena hidup di lingkungan pendidikan maka membaca adalah semacam kebiasaan yang ditularkan dari lingkungan. 

Kalau dipikirkan miskin ya tidak terlalu karena setiap bulan aku masih bisa menikmati makanan yang enak dan bermain-main dengan puas. Belajar itu menjadi tuntutan wajib, kalau perlu sawah digadaikan agar bisa merengkuh pendidikan tinggi. 

Orang tua banting tulang gali lubang tutup lubang agar pendidikan menjadi prioritas utama, senang- senang suka-suka singkirkan dulu. Meskipun dalam perjalanan prestasi pendidikan tidaklah menonjol tetapi bagaimanapun sebagai anak guru kekayaan terbesar adalah pengetahuan itulah modal untuk menjadi seorang profesional yang tidak hanya menyerah hidup tergantung pada belas kasihan bos.

Buruh dan masifnya demonstrasi

Aku tidak berani mengatakan bahwa buruh itu lebih rendah daripada guru, sebab terminologi buruh bisa saja karena ia bekerja mengabdi pada atasan. Mengapa upah buruh relatif rendah hingga memicu demo hampir setiap tahun bahkan setiap saat. 

Lebih parah lagi keberadaan buruh menjadi strategis untuk menaikkan popularitas dengan janji-janji selangit politisi hingga bisa menggerakkan ribuan buruh untuk berkumpul. Janji-janji itu seperti mimpi, seperti janji untuk menaikkan upah secara signifikan(artinya upah buruh hapir sama dengan guru.

Buruh yang tidak punya banyak kesempatan berpikir terus digosok-gosok agar selalu melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Sudah dinaikkan upahnyapun ada tuntutan lain yang menyusul seakan tidak pernah ada habisnya tuntutan itu.

Yang enak adalah penggerak buruh , pemimpin buruh karena kenyataannya mereka relatif kaya, mempunyai sumber pendapatan lain seperti menjadi pembicara, diundang oleh parpol tertentu untuk dimintai tolong memobilisasi masa, dengan demikian ia akan mendapat durian runtuh karena Parpol pasti tidak akan berpangku tangan atas kerja keras para penggeraknya. Ada ongkos politik dibalik suksesnya mereka menggelar demo demi demo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun