Maaf, kalau aku tidak terlalu paham tentang kehidupan buruh yang sebenarnya, tidak seperti Wiji Tukul yang sangat meresapi bagaimana suka duka buruh dan perjuangannya agar tetap bisa bertahan hidup di kota dengan banyak tuntutan serta barang-barang kebutuhan dasar yang semakin mahal.Â
Aku dari keluarga guru, meskipun bukan orang kaya tapi pernah merasakan beratnya upah kecil yang diterima guru sekitar 1970 an. Gaji yang terpotong-potong oleh utang dan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, hiburan serta papan.Â
Masih untung keluargaku hidup di desa yang kebutuhan pangannya bisa ditutupi dengan hasil pertanian meskipun hasil sawah dan kebun itu tidak seberapa.
Hal yang membuatku merasa kaya karena guru mempunyai koleksi buku -- buku yang mampu membuka mata jiwa dan pengetahuan. Karena hidup di lingkungan pendidikan maka membaca adalah semacam kebiasaan yang ditularkan dari lingkungan.Â
Kalau dipikirkan miskin ya tidak terlalu karena setiap bulan aku masih bisa menikmati makanan yang enak dan bermain-main dengan puas. Belajar itu menjadi tuntutan wajib, kalau perlu sawah digadaikan agar bisa merengkuh pendidikan tinggi.Â
Orang tua banting tulang gali lubang tutup lubang agar pendidikan menjadi prioritas utama, senang- senang suka-suka singkirkan dulu. Meskipun dalam perjalanan prestasi pendidikan tidaklah menonjol tetapi bagaimanapun sebagai anak guru kekayaan terbesar adalah pengetahuan itulah modal untuk menjadi seorang profesional yang tidak hanya menyerah hidup tergantung pada belas kasihan bos.
Buruh dan masifnya demonstrasi
Aku tidak berani mengatakan bahwa buruh itu lebih rendah daripada guru, sebab terminologi buruh bisa saja karena ia bekerja mengabdi pada atasan. Mengapa upah buruh relatif rendah hingga memicu demo hampir setiap tahun bahkan setiap saat.Â
Lebih parah lagi keberadaan buruh menjadi strategis untuk menaikkan popularitas dengan janji-janji selangit politisi hingga bisa menggerakkan ribuan buruh untuk berkumpul. Janji-janji itu seperti mimpi, seperti janji untuk menaikkan upah secara signifikan(artinya upah buruh hapir sama dengan guru.
Buruh yang tidak punya banyak kesempatan berpikir terus digosok-gosok agar selalu melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Sudah dinaikkan upahnyapun ada tuntutan lain yang menyusul seakan tidak pernah ada habisnya tuntutan itu.
Yang enak adalah penggerak buruh , pemimpin buruh karena kenyataannya mereka relatif kaya, mempunyai sumber pendapatan lain seperti menjadi pembicara, diundang oleh parpol tertentu untuk dimintai tolong memobilisasi masa, dengan demikian ia akan mendapat durian runtuh karena Parpol pasti tidak akan berpangku tangan atas kerja keras para penggeraknya. Ada ongkos politik dibalik suksesnya mereka menggelar demo demi demo.
Saya jadi berpikir apakah guru mampu dimobilisasi seperti buruh dengan berteriak-teriak lantang di jalanan menuntut kenaikan upah dan kesejahteraan yang meningkat. Jika guru terlalu sering demo bagaimana nasib anak didiknya.Â
Siswa akan melihat guru yang selalu tidak puas terhadap pendapatannya membuat siswapun akhirnya ikut  protes jika mereka tidak mendapat cukup perhatian guru.Â
Guru itu sudah dianggap sebagai sumber ilmu dan patron dalam budi pekerti, maka meskipun dalam keseharian masalah ekonomi selalu melilit, tetapi saat di kelas ia harus tetap gagah menjaga wibawa agar dihormati siswa, meskipun kadang merasa persoalan ekonomi membuat kepalanya pusing tujuh keliling.
Buruh dan Guru sama-sama mengabdi. Buruh mengabdi pada pemilik perusahaan dan membantu perusahaan mencapai target produksi, sedangkan guru mengabdi pada negara untuk mencerdaskan generasi muda, agar nantinya generasi yang akan datang bisa menjadi juragan, pengusaha, bos dan profesional yang bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menjadi penggerak ekonomi.
Guru dan Buruh sama- sama Penggerak di bidang masing-masing
Buruh berguna untuk mendukung proses produksi, guru berguna untuk memperkuat soko guru ilmu pengetahuan. Sama- sama berguna di posisi masing-masing. Cuma gutu tidak sesering buruh melakukan demonstrasi massal, meskipun upah guru pun tidak sebesar yang dipikirkan orang.
Dalam pusaran politik guru susah ditunggangi untuk menaikkan posisi tawar politisi. Sebab guru mempunyai pengetahuan yang cukup untuk tidak mudah termakan janji-janji politisi.Â
Aku selalu berharap guru tetap mempunyai pendirian kuat agar tidak masuk dalam intrik-intrik politik yang mengganggu ritme kerja dan terperosok kelamnya janji-janji politisi yang tidak bagus untuk diperlihatkan kepada generasi penerus.
Lebih bagus guru netral tapi tetap kritis dalam melihat ketimpangan-ketimpangan yang ada di sekitar. Pendidikan penting untuk menjaga moralitas bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H