Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masa Bulan Madu Sudah Selesai, Saatnya Anies-Sandi Tancap Gas

26 Januari 2018   12:08 Diperbarui: 26 Januari 2018   15:50 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa seratus hari sebetulnya tidak relevan untuk menilai apakah sebuah pemerintahan dikatakan berhasil atau tidak. Banyak orang menggantungkan tinggi-tinggi  harapan pada pemerintahan baru. 

Seperti Pengantin baru yang mendambakan kemesraan akan terjadi selamanya sepanjang hidup bersama pasangannya. Tapi ketika masa bulan madu berakhir setiap pasangan hidup harus mulai realistis, membangun kehidupan di atas perbedaan. 

Masa- Masa Perkenalan

Sang pengantin semakin mengerti bahwa tidak ada yang sempurna  seperti yang ia banyangkan semula. Mulai ada Pernik-pernik masalah, mulai ada pergesekan, mulai ada tuntutan yang semakin hari bukannya semakin ringan terapi semakin berat. 

Setiap pasangan hidup merasakan betapa mulai kelihatan kebiasaan-kebiasaan dari  mereka yang membuat muncul perasaan aneh, tapi kemudian harus dimaklumi karena mau tidak mau dari awal sudah berkomitmen bersama maka tentu harus menyingkirkan kejengahan dan meleburkan kelemahan dan kelebihan dalam satu biduk rumah tangga. 

Mulai ada sumpah serapah dalam hati, mulai kelihatan  bahwa tidak mudah mengayuh perahu ketika belum ada kesamaan kata. Atau kesamaan irama, kesamaan arah . Jika tidak mudah jika dalam satu perahu satu sama lain malah sibuk menentukan arah masing-masing. Yang satu ingin ke utara, yang satu ingin ke timur atau selatan.

Jika dalam komitmen awal sudah tercapai kesepakatan untuk melakukan pembagian tugas, ketika dari awal sudah merencanakan outline kebersamaan dan rencana  ke depan tentu akan lebih mudah menentukan rencana  selanjutnya. 

Tapi ketika  memilih pasangan hanya berdasarkan kecantikan fisik semata  atau karena kekuatan luar yang memaksa untuk bersatu, tentu akan siap-siap menuai badai masalah. Ilustrasi itu menjadi pembuka untuk mencoba melihat rekam jejak Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno.

Penulis  tidak sepintar kedua tokoh pemimpin puncak DKI. Bahkan untuk membayangkan bisa menjadi gubernur Jakarta saja tidak sanggup. Tapi bagaimanamun penulis mempunyai mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan perasaan untuk merasakan perbedaan kepemimpinan pada setiap rezim. Semua bisa dirasakan dari langkah awal pemerintahannya. 

Dari pengamatan  penulis pemerintahan Anies  Rasyid Baswedan  dan Sandiaga Uno (ABSU: agak jengah jika membuat singkatan ASU karena pembaca akan merasakan berbeda  mungkin malah ada yang tersinggung gara-gara singkatan tersebut)

ABSU mulai pemerintahan dengan berjalan di atas bara isu. Awal pemerintahan penulis mencatat banyaknya rencana-rencana terkait anggaran yang menimbulkan polemik di masyarakat. 

Anies menaikkan anggaran untuk tim Gubernur yang semula hanya sekitar 2, 3 Milyar menjadi sekitar 28 Milyar. Rencana itu menuai kritikan tajam dari masyarakat, karena sebenarnya uang 2,3 Milyar yang digunakan gubernur sebelumnya sudah cukup untuk menggaji Tim Gubernur yang sering menggunakan dana yang diambil dari dana operasional gubernur. Kontroversi juga muncul ketika Pemprov ingin merenovasi air mancur  DPRD sebesar 620 juta. 

Peristilahan yang berbeda juga sering digagas Anies dengan istilah rumah lapis yang sebetulnya tidak beda jika tetap menggunakan  istilah rumah susun.

Pendekatan populisme dengan membawa misi rakyat jelata diusung gubernur dan wakil gubernur dengan  menggagas kembalinya becak ke DKI. Ia menilai becak bisa menjadi transportasi alternatif di perkampungan Jakarta dan yang menyita perhatian masyarakat adalah ketika  gubernur mengakomodasi PKL berjualan di Jalan Jati Baru di lempang jalan depan Stasiun Tanah Abang. 

Anies menabrak peraturan perundang-undangan tentang penggunaan jalan dan trotoar sebagai tempat berjualan. Data-data di media tentang rekam jejak Anies Sandi tentu bisa menjadi tolok ukur penulis untuk mencoba mengulas tentang  review 100 hari pemerintahan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga salahudin Uno. 

Setiap isi kepala warga Jakarta tentu  mempunyai penilaian terhadap gubernur baru, tidak dipungkiri juga subyektifitas akan mengiringi. Maaf penulis terlalu berbelit-belit dalam berbicara(mungkin karena  pernah melihat jawaban Gubernur ketika diwawancarai Najwa shihab sehingga ikut ikutan mbulet dan muter-muter).

100 hari  anggap saja masih seumur jagung, tapi sebetulnya sudah bisa memberi kesan  bagaimana pemerintahan lima tahun ke depan. Pendekatan populisme dengan menabrak peraturan mungkin sah --saja bagi sosok seperti ABSU. Mungkin ia mempunyai pemikiran visioner walaupun Jakarta ruwet dan kembali mengusung Jakarta Vintage. 

Yang penting rakyat jelata tetap bisa menikmati becak, bisa melewati Jalan Sudirman Thamrin dengan motor tanpa disemprit polisi. Dan yang penting rakyat bisa berusaha dan mencari rejeki di Jakarta dengan bebas mengokupasi(permisi numpang jualan )trotoar dan jalan.

Setelah 100 Hari

Kini saatnya ABSU harus realistis. Masa bulan telah selesai. Kerja-kerja dan kerja seperi moto pemerintah Indonesia harus dilakukan. Mendengar kata kerja-kerja dan kerja mungkin agak risi, Silahkan ganti saja istilahnya yang penting membangun Jakarta menuju kota penting di dunia. Kota-kota lain  sedang berlari untuk mengejar ketertinggalan sebagai metropolitan yang modern. 

Dulu Jakarta sudah memulainya jika harus mundur ke belakang dengan mengusung Jakarta Retro, Jakarta Vintage paling tidak bukan mentalnya yang berpikir dengan paradigma lama. Masyarakat Jakarta harus berpikir modern untuk bisa tetap bertahan menghadapi persaingan global. Tidak menutup kemungkinan banyak tenaga ahli dari luar datang ke Jakarta mencari nafkah. 

Dan ketika masyarakatnya tidak bisa mengimbangi kecanggihan pemikiran pekerja asing maka masyarakat Jakarta hanya bisa melihat dan kemungkinan tergilas dalam persaingan pekerjaan, akhirnya  hanya bersaing ditingkat massa dengan mencoba berdikari mengisi lapak-lapak kaki lima bukan menjadi penggerak  ekonomi, dan CEO dari perusahaan yang bisa bersaing dengan perusahaan asing. 

Sebagai masyarakat, harusnya sudah mulai berpikir bagaimana menciptakan peluang dengan memanfaatkan teknologi canggih, bukan menjadi pengguna konsumtif dan pasif dengan membeli produk teknologi dengan cara utang atau memanfaatkan kartu kredit.

Gubernur dan Wakil Gubernur perlu berlari kencang mengejar ketertinggalan. Nostalgia sudah berlalu, dan Jakarta butuh pemimpin cekatan yang bisa merawat cita-cita masyarakat untuk mendudukkan Jakarta sebagai kota bersih, nyaman, dengan tranportasi ramah lingkungan terintegrasi, bahagia namun dengan prinsip kerja keras bukan hanya mengharap kucuran bantuan dari pemerintah. 

Jakarta butuh pemimpin tegas yang mampu menolak tegas pungli, korupsi yang sudah menjadi penyakit masyarakat.

Bolehlah Ahoker dan cebonger move on untuk tidak nyinyir dan mengkritisi kebijakan anda, tapi dengan syarat anda harus membuktikan bahwa kinerja ABSU memang jempolan dan lebih baik dari gubernur sebelumnya. Kegagalan move on cebonger dan ahoker karena sampai seratus hari pemerintahan  anda belum ada progress yang membuat Ahoker dan cebonger move on. 

Membangun Jakarta itu bukan karena ingin membahagiakan warga, tapi melecut warga untuk kerja keras dan menghindari sifat rakus dengan melegalkan korupsi. Sesekali warga memang perlu cambukan agar mereka sadar bahwa menjadi warga Jakarta itu tidak mudah. 

Ibu Kota negara itu ibaratnya halaman depan negara, jika halaman depannya saja semrawut, tidak teratur, kumuh persepsi tamu untuk datang tentu akan memanjang dengan membayangkan isi rumah, dapur dan penghuninya. 

Jika kangen pada becak apakah harus didatangkan ke Jakarta untuk memenuhi rasa kangen, sedangkan Jakarta butuh jalan lempang untuk bergerak cepat menyambut kemajuan jaman yang berlari dan perlu jalan tol untuk mengejar ketertinggalan. 

Sudah ada Yogyakarta , sudah ada medan, sudah ada Brebes yang menampung Becak sebagai destinasi pariwisata. Sedangkan Jakarta mungkin perlu helikopter, kendaraan yang mampu cepat menembus kemacetan.

Foto: tribunnews.com
Foto: tribunnews.com
Ubah mindset orang Jakarta yang merepresentasi kesuksesan diri dengan memiliki mobil. Seperti orang Jepang, mereka kaya tapi kebiasaan jalan kaki tetap dilakukan dan mereka lebih menyukai transportasi publik daripada kendaraan pribadi.

Karena bukan ukuran gengsi tapi lebih ke upaya menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan serta mentaati peraturan agar semua orang bisa nyaman dengan peraturan, bukan karena sering ditemui di Jakarta pelanggar peraturan merasa jagoan bila bisa melanggar peraturan yang berlaku.

(ini buat koreksi diri penulis tentunya yang kadang-kadang seringkali ikut-ikutan menjadi pelanggar peraturan). Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun