Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Catatan Sang Pengkhayal (7)

7 November 2017   08:30 Diperbarui: 7 November 2017   09:08 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sketsa pulpen by Ign Joko Dwiatmoko

Manusia dan Agama

Aku sesungguhnya sedang sadar saat ini bukan sedang berkhayal. Apa sih sesungguhnya agama bagi manusia?Untuk menumbuhkan kepedulian cinta dan rasa damai atau hanya membuat kekisruhan dan perang karena sekat perbedaan atas nama  kebenaran masing-masing. Sepanjang yang kutahu setiap kali bicara agama hampir semua orang melotot, emosi, kebencian meningkat dan semua orang keukeuh dengan kebenaran masing-masing. Seakan-akan ajaran cinta dalam agama itu luntur oleh ego pengikutnya.

Apakah Tuhan menghadirkan rasa benci pada umatnya. Apakah Tuhan ajarkan pembunuhan, penyiksaan atas nama agama. Lalu semua penganutnya saling ejek dan mencela keyakinan masing -- masing. Aku sedang tidak berkhayal teman aku sedang merenung, aku bukan orang suci seperti kalian tapi aku sedang mempertanyakan keimananku. Sama seperti yang lain akupun punya agama dan aku sering curiga pada penganut agama lain. Boleh dikatakan aku ketakutan terpengaruh pada doktrin dan ajaran agama lain.

"Mengapa harus takut jika ajaran agamulah yang terbaik?!"Suara bisikan bathinku

"Karena ada informasi teurs menerus tentang ajaran agama yang lain."

"Kau takut menjadi pengkianat bagi agamamu?"

"Ya begitulah!"

"Berarti ilmumu masih cethek itu. Kau pelajarilah dengan sepenuh hatimu dan dengan sepenuh keyakinanmu."

"Iya tapi...?"

Iya itulah manusia yang selalu menginginkan lebih bukan mensyukuri kekurangan diri. Settiap ajaran yang langsung diajarkan Tuhan adalah mencerminkan kasih sayang, penyebaran rasa damai dan pengembangan toleransi.

"Eh, kawan kau cocok menjadi pengkotbah?"

"Ah enggak mau, aku khan sedang menasehati diri sendiri bukan memberi kotbah pada orang lain."

"Tapi kau seperti rahib, seperti ustadz, seperti ahli agama gitu."

"Bukankah setiap orang beriman bisa mendeskripsikan ajarannya, jadi sah jika aku mencoba menggambarkan seberapa besar kadar imanku jik aku tanya."

"Tapi betul kau sekelas dengan para ahli agama itu?

"Ah, aku belum apa-apanya disbanding mereka."

"Kau merendah saja kawan."

"Ya sudahlah tidak usahlah berdebat, yakini saja apa yang menjadi keyakinanmu, tidak usah ikut campur keyakinan yang lain."

"Sayangnya di media sosial sekarang ini banyak orang merasa telah menjadi ahli agama sehingga perlu mengajari orang tentang kebaikan, Cuma sayangnya ada yang merasa sok suci sehingga memaksa orang lain setuju dengan pendapatnya, bahkan memaksa lagi."

"aku tidak mau komentar"

"Iya, Seru saja sih membaca komentar dari ribuan dialog di medsos. Ini perang, kotbah atau sedang kumur- kumur nggak jelas. Mending matikan Smartphone saling jabat, saling menghargai dan usaha yang tekun ya..."

'Kalau punya smartphone ya gunakan sesuai fungsinya, tidak usahlah membuat berita bohong, menebar kebencian dan membuat perbedaan seakan- akan sebuah aib dan dosa. Khan Tuhan menciptakan manusi berbeda-beda."

"Setuju kawan. Wah kau semakin bijaksana saja rupanya."

"Biasa saja."

"Kau terlalu merendah."

"Terimakasih."

Ah. Aku jadi ingin berkhayal. Menikmati Sunrise di Bali. Tapi bali sekarang terlalu ramai tidak alami lagi. Oh aku sedang menyelusuri pantai pantai di flores. Airnya bening, pantainya masih alami. Aku duduk merenung menikmati pemandangan di lepas pantai. Mendengar gelbur ombak dan menyesap udara pantai yang lengket-lengket gerah. Menyapu sudut cakrawala dan menangkap baris puisi demi puisi. Aku seperti kembali ingat beberapa larik puisi Sapardi Djoko Damono. Dan khayalanku terasa melayang melupakan suntuknya diskusi saat membedah keyakinan tentang agama. Bagiku rasa damai itu ketika bisa menikmati alam tanpa sekat- sekat. Bagiku semua makhluk itu sama dihadapan Tuhan. Pancaran cinta kasih itu akan lebih mendalam jika mencintai alam sepenuh hati. Jika aku mengikuti dialog-dialog di media sosial yang penuh sebaran kebencia aku merasa berjalan dalam bara api kedengkian. Aku merasa seperti membakar jiwa dalam umpatan-umpatan konyol.

Apakah orang-orang yakin telah hidup benar dengan menjentikkan jari menulis kata-kata retorik, ndakik-ndakik dan nylekutis, sementara kehidupan dirinya dengan keluarganya sendiri belum benar, tapi sudah merasa pinter menilai kadar keimanan orang lain.

"Anjrit.Mengapa aku tertarik lagi oleh umpatan-umpatan kasar media sosial. Tinggalkan saja semuanya. Kembali ke pantai kembali ke kemurnian alam. Karena di situ kau akan menghargai betapa megahnya ciptaan Tuhan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun