"Setuju kawan. Wah kau semakin bijaksana saja rupanya."
"Biasa saja."
"Kau terlalu merendah."
"Terimakasih."
Ah. Aku jadi ingin berkhayal. Menikmati Sunrise di Bali. Tapi bali sekarang terlalu ramai tidak alami lagi. Oh aku sedang menyelusuri pantai pantai di flores. Airnya bening, pantainya masih alami. Aku duduk merenung menikmati pemandangan di lepas pantai. Mendengar gelbur ombak dan menyesap udara pantai yang lengket-lengket gerah. Menyapu sudut cakrawala dan menangkap baris puisi demi puisi. Aku seperti kembali ingat beberapa larik puisi Sapardi Djoko Damono. Dan khayalanku terasa melayang melupakan suntuknya diskusi saat membedah keyakinan tentang agama. Bagiku rasa damai itu ketika bisa menikmati alam tanpa sekat- sekat. Bagiku semua makhluk itu sama dihadapan Tuhan. Pancaran cinta kasih itu akan lebih mendalam jika mencintai alam sepenuh hati. Jika aku mengikuti dialog-dialog di media sosial yang penuh sebaran kebencia aku merasa berjalan dalam bara api kedengkian. Aku merasa seperti membakar jiwa dalam umpatan-umpatan konyol.
Apakah orang-orang yakin telah hidup benar dengan menjentikkan jari menulis kata-kata retorik, ndakik-ndakik dan nylekutis, sementara kehidupan dirinya dengan keluarganya sendiri belum benar, tapi sudah merasa pinter menilai kadar keimanan orang lain.
"Anjrit.Mengapa aku tertarik lagi oleh umpatan-umpatan kasar media sosial. Tinggalkan saja semuanya. Kembali ke pantai kembali ke kemurnian alam. Karena di situ kau akan menghargai betapa megahnya ciptaan Tuhan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H