Gemerlap cahaya di pucuk langit, seperti  membungkus bara dalam bulatan  kegelapan. Hitam  malam menyisihkan benda bulat di ujung cakrawala. Sering aku duduk tersenyum dalam debur dan deru cinta yang berlabuh pada kekasih senja. Ia tersenyum dalam cahaya kemuning dan langit oranye yang menyiratkan eksotisnya lukisan alam.
Duhai malam kau beri langit untuk menyisakan kemegahan rembulan. Aku tersenyum karena guratan cinta tiba-tiba menderu dalam pucuk-pucuk geletar nafas kita yang memburu seakan rembulan telah menarik seluruh gairah di puncak kenikmatan. Puisipun lahir berarak seakan ide tidak pernah terhentikan hanya karena kesombongan seorang yang memegahkan diri di atas penderitaan orang lain.
Pada rembulan dan kebetulan purnama senja tiba, aku melantunkan syair cinta dalam imajinasi  meruang yang  hadir di segala sudut hotel dan Mall. Aku melihat bayangan- bayangan dan gerakan-gerakan yang mengikuti irama senja. Senja melahirkan warna-warna  jingga, kemerah-merahan, dan mengantarkan manusia meresapi kesunyian. Dari jauh suara burung Derkuku mengalun  manja.
Senja bolehkan aku pulang menikmati purnama yang gagah tersenyum di semesta alam. Akan kudendangkan lagu tentang senyummu ketika ranting menggelintik wajahmu. Aku duduk di teras melihat langit benderang oleh cahaya yang kau pancarkan, sementara sang malam menghadirkan musik dari serangga dan gesekan angin malam menerpa gerumbul bambu.
Aku teringat tiga purnama lalu ketika sang kekasih pergi dan selama beberapa hari tidak pernah melihat senja bertambur lembayung, hanya mendung, hujan dan petir membahana. Wajahnya selalu mendung dengan badai air yang meluluhlantakkan tanah pegunungan yang mulai gundul dan hilangnya akar-akar pohon yang mengikat tanah hingga longsor dan meluluhlantakkan tebing-tebing curam.
Aku hanya teringat pada nenek tua yang menatap ke depan dengan wajah penuh rundung kedukaan. Ia menatap langit dan pelahan lelehan air mata mengalir dari kulitnya yang telah berkerut. Ciutan burung yang mulai lenyap dan rengeng-rengeng serangga hampir tidak lagi terdengar. Yang ada hanya suara raungan buldoser memecah kesunyian, mencari jasad- jasad yang tertimbun tanah.
Nenek masgul menatap masa depan tempat kelahirannya. Ia seperti ingin pergi ke masa lalu di mana rapatnya hutan dan hijaunya lembah pegunungan menjadi tempatnya menebar senyum. Dalam kesunyian alam ia merasa telah lebur menjadi satu dalam  obrolan khusuk pada alam yang memberinya kesegaran jiwa, dan raga.
 Nenek itu sedang merutuk, menatap sedih gundukan tanah basah yang membawanya pada kesedihan. Anak dan cucunya telah hilang terkubur tanah pada tragedi yang tak pernah ia harapkan. Senja berlalu dan malam datang. Nenek yang lelah itu bertanya pada Yang Maha Pencipta.
"Mengapa Kau panggil anak dan cucuku... bukan aku yang tua bangka ini?"
Suara mendesir udara sekitar. Gemuruh sisa badai yang masih  menakutkan, suara-suara rintihan dari orang-orang yang terkubur hidup-hidup itu seperti meremas isi dada nenek tua itu.
"Perbuatan siapakah ini. Kenapa hutan  yang menghidupi kami sejak dulu dibabat untuk memenuhi hasrat orang kaya perkotaan yang terlalu bangga dengan kehidupan mewahnya."