Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Purnama Ketiga

6 November 2017   14:12 Diperbarui: 6 November 2017   14:15 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(elvirobiatuladawiyah.wordpress.com )

Gemerlap cahaya di pucuk langit, seperti  membungkus bara dalam bulatan  kegelapan. Hitam  malam menyisihkan benda bulat di ujung cakrawala. Sering aku duduk tersenyum dalam debur dan deru cinta yang berlabuh pada kekasih senja. Ia tersenyum dalam cahaya kemuning dan langit oranye yang menyiratkan eksotisnya lukisan alam.

Duhai malam kau beri langit untuk menyisakan kemegahan rembulan. Aku tersenyum karena guratan cinta tiba-tiba menderu dalam pucuk-pucuk geletar nafas kita yang memburu seakan rembulan telah menarik seluruh gairah di puncak kenikmatan. Puisipun lahir berarak seakan ide tidak pernah terhentikan hanya karena kesombongan seorang yang memegahkan diri di atas penderitaan orang lain.

Pada rembulan dan kebetulan purnama senja tiba, aku melantunkan syair cinta dalam imajinasi  meruang yang  hadir di segala sudut hotel dan Mall. Aku melihat bayangan- bayangan dan gerakan-gerakan yang mengikuti irama senja. Senja melahirkan warna-warna  jingga, kemerah-merahan, dan mengantarkan manusia meresapi kesunyian. Dari jauh suara burung Derkuku mengalun  manja.

Senja bolehkan aku pulang menikmati purnama yang gagah tersenyum di semesta alam. Akan kudendangkan lagu tentang senyummu ketika ranting menggelintik wajahmu. Aku duduk di teras melihat langit benderang oleh cahaya yang kau pancarkan, sementara sang malam menghadirkan musik dari serangga dan gesekan angin malam menerpa gerumbul bambu.

Aku teringat tiga purnama lalu ketika sang kekasih pergi dan selama beberapa hari tidak pernah melihat senja bertambur lembayung, hanya mendung, hujan dan petir membahana. Wajahnya selalu mendung dengan badai air yang meluluhlantakkan tanah pegunungan yang mulai gundul dan hilangnya akar-akar pohon yang mengikat tanah hingga longsor dan meluluhlantakkan tebing-tebing curam.

Aku hanya teringat pada nenek tua yang menatap ke depan dengan wajah penuh rundung kedukaan. Ia menatap langit dan pelahan lelehan air mata mengalir dari kulitnya yang telah berkerut. Ciutan burung yang mulai lenyap dan rengeng-rengeng serangga hampir tidak lagi terdengar. Yang ada hanya suara raungan buldoser memecah kesunyian, mencari jasad- jasad yang tertimbun tanah.

Nenek masgul menatap masa depan tempat kelahirannya. Ia seperti ingin pergi ke masa lalu di mana rapatnya hutan dan hijaunya lembah pegunungan menjadi tempatnya menebar senyum. Dalam kesunyian alam ia merasa telah lebur menjadi satu dalam  obrolan khusuk pada alam yang memberinya kesegaran jiwa, dan raga.

 Nenek itu sedang merutuk, menatap sedih gundukan tanah basah yang membawanya pada kesedihan. Anak dan cucunya telah hilang terkubur tanah pada tragedi yang tak pernah ia harapkan. Senja berlalu dan malam datang. Nenek yang lelah itu bertanya pada Yang Maha Pencipta.

"Mengapa Kau panggil anak dan cucuku... bukan aku yang tua bangka ini?"

Suara mendesir udara sekitar. Gemuruh sisa badai yang masih  menakutkan, suara-suara rintihan dari orang-orang yang terkubur hidup-hidup itu seperti meremas isi dada nenek tua itu.

"Perbuatan siapakah ini. Kenapa hutan  yang menghidupi kami sejak dulu dibabat untuk memenuhi hasrat orang kaya perkotaan yang terlalu bangga dengan kehidupan mewahnya."

Tidak ada yang menjawab. Hanya desir angin menderu dan tetesan hujan yang tersisa. Suara lain hanyalah lolongan anjing dari kejauhan serta sesekali suara burung hantu yang sedang menyapa roh-roh yang masih penasaran.

Nenek tua itu tepekur, tidak mau beranjak, ia ingin melihat bulan purnama yang masih terbalut mendung dan awan pekat.

Ia ingin mengikuti jejak anak dan cucunya, tapi Tuhan masih sayang ia. Nenek tua itu ingin melupakan tragedi demi tragedi yang merampas kebahagiannya. Ia kini tengah merajut asa untuk mengurai kusut masai kehidupannya dengan mengadu nasib ke kota. Ia relakan diri menjadi buruh cuci dan menjadi penghibur lara para sosialita dengan menjadi tukang pijat para sosialita. 

Mungkin dalam hatinya sedang menggerutu dan memaki sosialita yang tengah mabuk kenikmatan pada hamburan uang dari segepok uang  para cukong utusan pengusaha hitam yang merampok sumber daya alam dengan memanfaatkan kekuasaan raja raja  kecil di daerah. Nenek itu tidak ingin ketemu anak dan cucunya dalam sebuah tragedi yang sama. Ia ingin bertemu dalam damai dan melupakan dendam oleh alam yang tercabik -- cabik akibat ulah sosialita yang mabuk kekayaan.

***

Kudengar cerita yang mengalir dari mulut nenek. Tidak terasa tetes air mata mengalir mendengar ceritanya. Apakah aku termasuk sosialita itu yang menghamburkan uang hanya untuk membeli rasa damai. Apakah aku juga bagian dari dendam yang hendak ia lampiaskan kepada kami para penghuni kota yang dengan sombong seperti ingin merengkuh alam tanpa pernah menyisakan secuil kebahagiaan pada orang-orang seperti nenek tua itu. Sedangkan aku sendiri sedang merajut asa kembali rindu pada kekasih hatiku sebuah senja kemuning dan seleret cahaya jingga.

Sang Kekasih telah kembali, sedikit melupakan tragedi yang hampir selalu ada dan sedang berbaris untuk menguji ketabahan manusia. Kini senja  dan cahaya jingga tengah hadir. Seperti perjalanan waktu ada suka ada duka. Ada kalanya cinta remuk redam oleh peristiwa sedih saat sang kekasih memutuskan berpisah, namun ketika senja seperti memberi harapan cinta aku merasa harus menikmati malam di mana purnama tersenyum dan menyapaku.

Saat purnama tiba terang dan gagah nenek itu pulang dengan membawa rasa rindu. Ia tersenyum menjemput dan sedang menyiapkan kata --kata manis ketika ia bertemu suami, anak dan cucunya yang sudah lebih dahulu menelusur langit dan meniti awan gemawan putih. Ia seperti melihat titian jalan dari bulan purnama yang merekah tersenyum memanggilnya.

"Selamat jalan nenek. Kini akupun tengah menunggu kekasihku sambil menikmati senyum bulan purnama. Semoga gairahku tetap terpelihara bersama kuatnya hasrat jiwaku saat melihat bulan bulat itu hadir dilangit nan pekat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun