Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Sang Pengkhayal (2)

18 September 2017   07:56 Diperbarui: 18 September 2017   09:21 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika terdengar suara start aku seperti bermimpi tersedot dalam pusaran. Seperti memasuki lorong kabut hitam berseling putih, gelombang awan yang meliuk-liuk itu membuatku pusing. Kemudian diriku seperti terlempar dalam suhu udara yang berbeda  lebih sejuk lebih dingin.Dan Finish datang  menghampiri telingaku. Aku terpaku di tengah hamparan sawah, ladang pada suatu pedesaan.

 1 Januari 2017

Kebetulan aku memasuki tahun 2017 di tengah hamparan sawah. Tidak sedang masuk suasana persaingan bisnis dan tengah masuk dalam era digital dengan ditandai manusia yang sedang asyik masyuk dengan gadgetnya. Di desa meskipun sudah mengenal  HP namun  suasana alami masih terasa. Manusia masih disibukkan dengan alam yang masih ramah menyapa. Aku tengah mengamati burung yang terbang bebas, menerabas ranting, mengepakkan sayap hingga menembus awan berarak, lalu turun lagi bertengger pada ranting kayu nangka. Aku membayangkan menjadi burung itu yang tidak lelah terbang. Kepak sayapnya  menjuntai, meliuk-liuk dalam dekapan angin lembah. Mata burung awas melihat kelebatan makhluk  kecil di bawah permukaan air. Dengan satu gerakan meliuk sudah kuterkam makhluk hingga menggelepar dalam cakar kaki ini. Segera aku terbang  meniti  awan gemawan lalu kembali menyisir rimbunan dedaunan bambu, sebelum akhirnya mendarat di pohon  nangka yang umurnya sudah hampir seratus tahun.

Aku merasakan  paru-paruku mengembung, dengan ringan membuat   gerakan akrobat layaknya pesawat tempur F 16 buatan Amerika atau sejenis Sukhoi  yang berlisensi Rusia Negara Presiden Putin, dan tokoh sosialis kiri  Stalin.Tapi jika bicara Uni Soviet atau Rusia aku lebih suka membicarakan Anton Chekov atau  lebih senang melihat gerakan meliuk indah saat mengayunkan raket tenis dari Maria Sharapova.

Aku  seekor  burung yang  mengandalkan latihan, latihan dan terus latihan untuk meningkatkan kegesitanku  melayang-layang di langit.

Burung Pipit terbiasa terbang rendah mematuk bulir-bulir padi dari hamparan sawah menguning. Partitur lagu yang tercipta dari simponi alam membuat kedamaian  terasa agung, aku tidak ingin beranjak menjadi burung  gereja yang hidup dalam kolong-kolong bangunan tua, yang menua oleh  debu-debu yang menempel dari kesibukan kota yang penuh peluh, penuh nafsu, penuh rengekan  kemunafikan dan ujaran-ujaran kebencian yang siap meledakkan perpecahan diantara makhluk yang tercipta di bumi ini. 

Aku burung pipit terbang menyusup sela-sela pepohonan rindang  diantara hamparan  daun-daun durian, rambutan, albasia, waru, nangka dan nyiur pohon kelapa. Terkadang aku terbang rendah di antara pesawahan hijau menguning. Dan anginpun membawa kesegaran sampai ke sudut sukmaku. Itulah suara alam, bukan bangkai-bangkai bangunan serta tumpukan sampah plastik menggunung yang menghantarkan aroma campur baur dalam  penyakit yang meruar sepanjang hari.

Melihat dari atas, dari langit biru petakan sawah dan gerumbul tetumbuhan bagaikan lukisan abstrak dengan pola geometris yang  menampilkan  keseimbangan warna, harmoni  irama garis  dan repetisi-repetisi  visual yang  alami. Itulah kebesaran ciptaan Yang Agung.  Dari mata burungku yang terbang rendah itu  aku menangkap sebuah  pesan bahwa alam masih  mampu bernyanyi  merdu dalam rampak irama waktu. Entah kapan, suatu saat alam akan tercacah oleh kejinya manusia yang akan menyesap alam hingga rusak.

Manusia itu makhluk cerdas, cerdik sekaligus licik. Mereka bisa menciptakan benda-benda yang membuat mereka terhubung dengan dunia dalam waktu singkat. Mereka bisa membuat benda terbang bahkan tanpa awak, membawa kamera, merekamnya dan menayangkan pada benda datar atau dicetak sangat besar. Apa yang tergambar dalam layar mataku bisa terjadi dan manusia bisa menampilkan gambar dengan amat detil, sedangkan aku si burung kecil hanya  menikmati alam dengan panoramanya karena naluri dan tuntutan perut. 

Alam yang indah  di bawah bisa saja dalam waktu cepat berubah. Bukan lagi hamparan sawah, berganti petak-petak rumah dan akhirnya membuat bumi semakin panas dengan desakan nafsu manusia membangun komunitas dan melupakan alam semesta. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan bumi ini 30 atau 40 tahun lagi. Manusia tentu tidak bisa lagi mengandalkan alam. Otak merekalah yang harus bekerja untuk bertahan di atas permukaan bumi yang semakin meranggas dan jauh dari subur.  Habitat makhluk sepertiku akan semakin punah, dan tinggal cerita yang tersemat di sederetan novel ciptaan manusia yang menggambarkan diriku masa silam.

Kepak sayapku cekatan meliuk-liuk, melambai - lambai dari nukilan pemandangan ke pemandangan lain. Kilatan air yang tersorot matahari memantulkan cahaya kemilau, aku teringat dengan benda berharga berlian yang mengerjab-kerjab oleh Kristal-kristal geometris yang tersorot cahaya. Benda itu akan berbinar -- binar sombong karena hanya dengan kerlip-kerlip hidup setiap mata terutama manusia  dapat memancarkan cinta, tapi bisa menyiratkan kejahatan yang tersembunyi dari sorot iblis.

Aku terasuki oleh sang penulis yang sedang mencari ilham dari ribuan  bahkan jutaan kata yang hendak ia susun menjadi novel. Novel itu sudah terekam dalam pikirannya, tapi masih memerlukan  berbagai pengendapan supaya novel yang bertajuk fiksi itu seperti kisah nyata. Si burung kecil nan lincah itu terus menukik-nukik diantara bulir-bulir pada rerumputan dan tumbuhan keemasan yang diterpa angin buritan.

Aku sang penulis yang menyusup di raga burung emprit mulai merasakan betapa banyak bulir-bulir ide menderas dalam pikiran, mengendap di jiwa.  Tinggal mengolahnya untuk menjadi bagian dari hasil sejarah.

Aku tidak ingin sekalipun mengutuk nasib, meskipun tertatih dan blingsatan dalam menjalani kehidupan. Terkadang  merasakan betapa nasib buruk mampir  itu adalah sahabat setia. Kepada saudara yang mencintai tanpa  meminta imbalan.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun