Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Putih Bajumu Tidak Seputih Jiwamu

10 Agustus 2017   09:51 Diperbarui: 10 Agustus 2017   10:11 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Memandang  ribuan baju putih

Menari-nari di pelangi hatiku

Berkibar-kibar penuh percaya diri

Seakan surga sudah ada dalam genggaman

Mereka menari-nari penuh  keyakinan

Sementara aku hanya debu dari deru tapak kaki mereka.

Aku merasa terinjak

Nestapa oleh kekumalan dan kedekilan dan gelimang dosa.

Kumandang doa menggema

Seakan meruntuh langit

Yang dibangun ribuan abad,

Menyesaki bumi yang semakin  pipih.

Darasan doa yang menggema seakan ikut merayu Tuhan

Ada dalam barisan kekhusukan

Apakah Tuhan manggut-manggut

 dengan lantang doa yang menggema

 sementara aku tahu mereka terdesak untuk oleh rayuan buaya

yang menjual agama demi kekuasaan.

Dengarkah suara hatiku Tuhan pada makhlukmu yang hanya debu kotor dari kibasan angin  pagi

Tidak mampu apa- apa kecuali terbang dan membuat kabur pandangan manusia. Sementara  mereka berarak kemilau putih mendesak langit untuk membuka koridornya masuk dalam kemegahan surga.

Aku adalah serpihan, butiran mikrokosmos yang terserak dari kesombongan ambisi manusia.

Abu, debu, seputih apapun tetaplah bagian dari kekelaman, sedangkan kibaran baju putih sekan-akan adalah barisan para suci yang menggemakan  cita-cita menggenggam langit menuju keabadian dan kebahagiaan.

Dengan baju putih mereka bisa membakar makhluk tanpa ampun, memperkosa hak hidup perempuan dan kelemahan tubuhnya, melakukan perusakan bagi simbol-simbol  animisme, dinamisme.

Aku bagian dari kesombongan, kecongkakan budaya dan kelemahan untuk mendobrak  tatanan. Aku terlalu minder untuk menembus barikade tanpa tepi seakan perarakan gemawan  itu sudah masuk dalam dunia penuh kepastian. Sementara diriku hanya terbang mengikuti angin. Kemanapun tiupan angin datang maka berhamburanlah seluruh bebutiran yang siap mencekik leher dan mengganggu indera penglihatan

Aku tidak bisa menebak, lebih mulia baju yang menempel di badan atau putih atau jiwa tulus nan putih.

Saat ini aku baru melihat kesucian itu berkibar-kibar dengan baju, badan wangi.

Mereka bisa saja meluluhlantakkan bumi dan dan segenap kegagapan memahami kesucian dengan hanya baju yang dikenakan, bukan dengan ketulusan, kasih sayang dan toleran menerima perbedaan.

Aku, adalah barisan manusia sombong lain yang terlalu sinis memandang kecongkakan manusia yang hanya mampu mengibarkan simbol-simbol tanpa bisa memaknai kehidupan yang sebenarnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun