Bagaimanapun, Jokowi dan penerusnya adalah pemimpin yang telah mulai melangkah jauh membenahi carut-marut Jakarta. Pergulatan budaya, pergulatan kepatutan rasa kasihan terhadap kaum migran, membongkar keruwetan alur sepanjang jalur sungai menjadi lebih beradab. Semuanya butuh kesabaran, tangan besi dan kecerewetan tingkat dewa.Â
Jokowi menemui banyak kendala, terutama oleh orang-orang yang sudah merasa enak hidup dalam ketidakteraturan yang semuanya gampang diatur oleh perputaran uang dari cukong ke cukong, dari preman ke preman, dan dari beking yang berasal dari mantan petinggi negara.
Pemimpin yang berani membongkar budaya pungli, lingkaran setan premanisme akan mendapat tantangan keras. Sebab kenyamanan yang dirasakan oleh orang yang hanya bekerja di belakang layar mendapat usikan dari pemimpin yang ingin menjadikan pemerintahan clean governance. Butuh waktu lama untuk bisa mengubah budaya masyarakat yang menjadikan budaya suap sebagai jalan menggampangkan sebuah tujuan.Â
Dari kenikmatan serta betapa rumitnya birokrasi pemerintahan yang sudah terlanjur asyik bermain dalam pola suap-menyuap, kongkalikong, korupsi berjamaah, tahu sama tahu, ada pemimpin yang berusaha mengubah pola dan memangkas budaya nepotisme, kolutif dan birokrat yang kenyang oleh tindakan jahat tapi diamini karena semua orang berpikir untuk diri sendiri demi kepentingan sendiri masa bodoh dengan kejujuran.
Ini sebuah lifestyle baru di antara kekumuhan perkampungan Tambora dan rusun-rusun sekitar Penjaringan yang menuju arah Glodok dan Kota Tua. Sebuah kesibukan baru yang akan membawa perubahan. Bisa jadi akan banyak lagi taman yang akan mengubah Jakarta menjadi kota yang lebih layak huni, tempat berbagi keluhan bukan hanya di dunia maya tapi interaksi antarkomunitas yang berujung kepedulian, empati, dan rasa saling menghargai.
Lihat saja, ketika ada orang yang bersenggolan saat bersepeda mereka hanya tersenyum, tidak ada perasaan marah. Mereka tahu sesama penikmat taman baru Kalijodo mereka berusaha saling mengerti bahwa untuk sebuah hobi mereka butuh energi positif. Terserah tampang seperti preman tapi hati mereka terikat oleh sebuah kesamaan, yaitu saling berbagi ruang. Mereka lepaskan semua masalah, saling berkeringat untuk mengasah keterampilan dan dengan sabar mengulang-ulang gerakan-gerakan yang bagi mereka kurang  sempurna.
Di Kalijodo tidak usah pidato politik, percuma. Mereka hanya akan mendengar teriakan keasyikan saat bisa melakukan jumping indah dan puas ketika mereka berhasil menuntaskan hasrat bisa melakukan akrobat-akrobat yang sebelumnya susah dilakukan. Jangan bicara agama di tengah relasi sosial yang tanpa sekat itu. Bicara saja masalah hobi, komunitas, dan aneka hiburan murah meriah di antara kaum urban yang datang ke Jakarta dengan sejuta mimpi.
Selayaknya taman, selain Kalijodo masih ada Taman Pluit. Taman megah yang konon sebelum tahun 2013 masihlah kampung kumuh dengan banyaknya rumah semipermanen yang bertebaran mengelilingi Waduk Pluit. Penulis pernah melintas dan pernah lewat di waduk itu sekitar 2010. Tumpukan sampah, bau campur baur dengan rumah petak dan sampah plastik mengapung di sekitar danau, sungguh itulah gambaran rumah pendatang seperti halnya rumah bedeng yang masih bertebaran di Jakarta (Cengkareng, Tambora, Kapuk Kamal, Petogogan, Kampung Pulo, Menteng Dalam, dsb).Â
Apakah layak hidup dalam bedeng? Sebuah pertanyaan apatis sebetulnya tapi jika ingin Jakarta berubah, pola pikir masyarakat harus diubah. Jika menginginkan kota lebih beradab, ya segera tinggalkan budaya yang mirip seperti benalu, menumpang, mengokupasi, mengklaim dan kemudian membuat seakan-akan tanah menjadi hak milik dengan sertifikat bodong.
Jokowi, Ahok adalah fenomena tidak banyak pemimpin yang melawan arus dan mereka adalah contoh dari sedikit pemimpin visioner yang dimiliki negeri ini. Berangkat dari Jakarta kota yang penuh persoalan, kota segudang mafia, kota yang penuh liku dan mulai ada perubahan berkat sentuhan mereka. Penulis harus obyektif, bukan berarti terus mendewakan kedua tokoh ini, kenyataan Jakarta sudah berubah sejak ada mereka. Mari berpikir obyektif, jangan karena pengaruh politik, fanatisme agama, ideologi menjadi buta hati, buka nurani untuk mengatakan benar dikatakan benar dan salah dikatakan salah.