Pernah dengar kata mutiara bahwa kita perlu menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat? Ternyata selama ini kita terjebak dengan kalimat tersebut. Perlu dipahami bahwa seimbang adalah sama berat, tidak berat sebelah. Lalu apa yang salah dengan kata mutiara itu? Tidak ada yang salah, hanya kurang tepat.
Kata 'seimbang' mengisyaratkan adanya persamaan berat. Artinya, jika dikaitkan dengan dunia dan akhirat, maksudnya adalah hak dan kewajibannya dilakukan secara sama. Ini akan menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin antara hak dan kewajiban dunia dan akhirat dilakukan secara seimbang? Padahal dalam praktiknya, justru manusia disibukkan dan lebih banyak bertautan dengan kehidupan dunia.
'Seimbang' seakan memberi pertanyaan baru? Seperti apa kehidupan itu dikatakan seimbang? Apakah ukurannya mengenai waktu? Durasi? Banyak sedikit? Jika kita hitung, nyatanya kehidupan sehari-hari kita banyak berkaitan dengan kehidupan dunia dibandingkan akhirat. Ibadah kita yang wajib bisa kita hitung, salat sehari semalam 5 kali. Durasinya pun tidak lebih dari 5 menit (yang salatnya cepat ya). Sisanya, urusan dunia. Jangan untuk lebih berat dalam kehidupan akhirat, untuk seimbang saja, rasanya 'jauh panggang dari api'.
Jika kata 'seimbang' juga mengalami pergeseran makna seperti kata 'adil', maka mungkin bisa dikatakan sesuai. Dahulu, kata 'adil' dipahami sebagai sama berat, sama rata. Namun, kini 'adil' tidak hanya bermakna sama rata, melainkan memberikan sesuatu sesuai haknya. Jika memang kata 'seimbang' telah bergeser maknanya seperti kata 'adil', maka makna yang sebenarnya adalah melakukan sesuatu sesuai hak dan kewajiban. Dan kewajiban umat muslim adalah beribadah kepada Allah Swt.
Ibadah itu tidak hanya sebatas ibadah seperti salat, puasa, zakat, atau haji dan umrah. Ibadah adalah segala bentuk perkara yang diperintahkan Allah Swt, yang Allah cintai, baik berupa perkataan, perbuatan yang tampak maupun yang tidak tampak. Ibadah ini lah yang kita harapkan mendatangkan pahala sehingga kita mendapatkan rahmat dari Allah Swt kelak di akhirat.
Bagi umat muslim, Allah sudah menjanjikan dua balasan di akhirat kelak, yaitu sugra dan neraka, tidak ada posisi tengah-tengah. Tentu tujuan utamanya adalah surga. Tahu kah kita apa syarat kita bisa masuk ke surga? Rahmat dari Allah Swt. Bagaimana mungkin kita mendapat rahmat Allah Swt jika kita tidak mengerjakan ibadah sesuai perintahnya?
Apa kaitannya dengan kehidupan dunia dan akhirat?
Kembali lagi, untuk mencapai surga, kita harus memiliki tiket ke surga. Tiket itu kita dapatkan setelah melakukan perniagaan di dunia. Perniagaan itu akan dihitung lalu ditimbang. Bagaimana mungkin kita akan mendapat tiket ke surga kalau timbangan kita sama alias seimbang? Tentu kita butuh timbangan kebaikan yang lebih berat.
Allah sudah mengingatkan kita agar kehidupan dunia bukan menjadi tujuan hidup. Kita hanya akan mendapatkan dunia seukuran apa yang telah Allah tetapkan, tidak lebih dan tidak kurang, sekalipun kita telah bekerja keras bahkan mengabaikan keluarga.
Ada banyak orang tua yang akhirnya bercerai hanya karena keduanya sibuk bekerja, dari pagi hingga malam hari. Lalu anak terabaikan, berujung pada pertengkaran setiap hari. Hal ini karena dalam keadaan lelah (dengan urusan dunia), seseorang lebih berpotensi untuk membuka pintu bagi setan dan iblis masuk. Hasilnya, kita berburuk sangka, berpikir negatif, marah-marah, dan lain sebagainya.
Orang yang taat dan bertakwa akan lebih mengutamakan akhirat daripada dunia. Tidak ada kata seimbang pada pilihan dunia atau akhirat. Bagaimanapun, akhirat haruslah menjadi tujuan utama. Seseorang memang memiliki perlu dengan dunia, tetapi lebih membutuhkan akhiratnya.
Dunia memang tidak boleh ditinggalkan karena setiap manusia memiliki tanggung jawab di dunianya. Setiap kita adalah pemimpin. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, seorang perempuan adalah pemimpin bagi anak-anaknya karena ia adalah madrasah bagi anak-anaknya. Maka kita perlu dengan dunia, tetapi jadikan kepentingan kita di dunia (apapun itu) menjadi ladang pahala untuk akhirat.
Allah Swt telah menyiapkan dunia kita sebagai ladang pahala. Kita bisa menjadi pemimpin; pemimpin negara, pemimpin perusahaan, atau pemimpin rakyat. Dengan amanah dan pemimpin yang adil, tidak semena-mena, dan tidak dzolim, kita bisa mendapat pahala darinya. Dengan gaji yang besar, seharusnya sedekahnya juga besar, bukan korupsinya.
Jika kita berpikir bahwa tidak ada kaitan antara kehidupan dunia dan akhirat, dampaknya tentu terputuslah urusan dunia dan akhiratnya. Semisal, dari hal kecil seperti makan. Jika kita berpikir makan adalah urusan dunia (memenuhi kebutuhan perut saja) maka yang kita dapat hanya rasa kenyang. Namun, jika kita berpikir makan adalah rahmat dari Allah Swt, maka kita akan makan sesuai sunah Rasulullah. Sehingga kita bisa mendapat pahala dan rahmat dari makanan tersebut. Dengan makanan itu, ibadah kita tenang (rasa lapar bisa menganggu kosentrasi ibadah), kita akan sehat, dan akan membawa berkah untuk kita, bukan hanya rasa kenyang.
Pentingnya memberatkan akhirat daripada dunia bukan hanya sekadar melakukan ibadah terus-menerus tanpa memikirkan dunia. Akan tetapi, menjadikan dunia sebagai media dalam mendapatkan sebanyak mungkin pahala untuk bekal di akhirat (catatan: bukan menambah dosa ya).
Jika kita diberikan Allah kelebihan rezeki, maka gunakan rezeki itu untuk berinfaq atau bersedekah. Perbanyak beramal, bukan berfoya-foya. Jika kita diberi Allah amanah jabatan, maka gunakan jabatan itu sebagai jalan membuka pintu kebaikan, baik untuk diri sendiri dan orang lain, bukan untuk melancarkan aksi tak manusiawi berkedok 'peduli'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H