"Kuncinya memang ada dua yang saya sampaikan. Di investasi terus meningkat dan ekspor yang juga harus meningkat sehingga bisa menyelesaikan defisit transaksi berjalan," ucap Presiden Jokowi.
2. Rupiah Melemah Akibat Perang Dagang AS dan China
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengakui bahwa Indonesia tidak bisa menghindari dampak dari trade war (perang dagang) yang saat ini sedang menjadi isu global. Mau tidak mau, Indonesia harus mampu menghadapi perang dagang tersebut.
"Kita percaya bahwa kita bisa menjawab ini (perang dagang) walaupun dampaknya pasti kena, tidak bisa tidak, karena bukan kita yang melakukan inisiatif (menyerukan)," kata Menko Darmin.
Perang dagang antara negara besar tidak dapat dihindari, dan dampaknya tentu saja akan langsung terasa pada nilai tukar Rupiah yang sudah pasti akan terdepresiasi atau melemah terhadap Dolar Amerika.
"Kita tidak bisa menghindari yang namanya perang dagang dan sebagainya yang ujung-ujungnya itu pasti mempengaruhi kurs, nilai tukar."
3. Rupiah Melemah Karena Ekonomi AS Semakin Kuat
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dalam beberapa waktu terakhir diakibatkan oleh semakin membaiknya ekonomi negara Amerika Serikat. Dia menegaskan, pemerintah secara terus menerus memantau dampak kebijakan AS terhadap Indonesia.
"Menyikapi berkembangnya perekonomian terutama yang terjadi di Amerika Serikat sangat kuat yang kemudian menimbulkan sentimen terhadap USD dan beberapa risiko yang berasal dari negara-negara berkembang," ujarnya di Kantor Kementerian Keuangan.
Dari sisi perekonomian dalam negeri, pemerintah secara aktif terus memantau efektivitas setiap kebijakan yang dilakukan. Pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengkaji instrumen yang perlu ditambah untuk memperkuat ekonomi Indonesia dari segala resiko eksternal.
"Di dalam perekonomian Indonesia sendiri kita juga terus menerus melihat bagaimana dinamika ini harus kita sikapi. Dan kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia dengan OJK apakah masih perlu untuk ditambah, karena kemudian dinamika yang terjadi berubah atau makin kuat," jelasnya