Mohon tunggu...
Dwi Sartikasari
Dwi Sartikasari Mohon Tunggu... -

Aku hanya perempuan biasa yang punya banyak mimpi. Aku hanya perempuan biasa yang ingin menjadi penulis dengan karya yang luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Review] London: Angel by Windry Ramadhina

17 Desember 2015   13:39 Diperbarui: 19 Desember 2015   11:03 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Pembaca tersayang,

 

Mari berjalan di sepanjang bentaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya London Eye.

Windry Ramadhina, penulis novel ‘Orange’, ‘Memori’, dan ‘Montase’, membawa kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga ke Fitzrovia. Namun, ternyata tak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemuinya. Apakah perjalanannya kali ini sia-sia belaka?

 

Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.

 

 

Enjoy the journey.

 

 

 

 

  

Judul : London: Angel (STPC #5 Gagasmedia) 

Penulis : Windry Ramadhina 

Jumlah Halaman : x + 330 hlm 

Genre : Adult Romance, Fantasy 

Penerbit : GagasMedia 

Cover Designer : Levina Lesmana

Tahun : 2014 (Cet. 5) 

ISBN : 978-979-780-653-8

 

 

Mencintai sahabat sendiri, begitulah ringkasnya cerita dalam novel London: Angel karya Windry Ramadhina yang kelima ini. Gilang adalah sahabat Ning sejak lama, sejak 14 tahun lalu. Sepuluh tahun terbiasa bersama—rumah saling berdampingan, ke mana pun berdua—membuat Gilang, akhirnya memiliki perasaan lain selain sayang pada sahabat sendiri. Empat tahun sisanya, Ning memutuskan melanjutkan kuliah di London sekaligus bekerja di Tate Modern—galeri seni kontemporer paling ternama di dunia—membuat Gilang akhirnya terpaksa memendam perasaan itu sendiri. Namun hingga saat itu tiba, Gilang atas bantuan sekaligus dukungan keempat sahabatnya, memutuskan untuk terbang ke London. Mengejar cinta yang selama ini berusaha ia tahan dalam diam. Setibanya di London, kisah baru dimulai.

***

Dari segi fisik, aku sangat suka warna cover bukunya, semacam merah bata, tidak mencolok dan terkesan cukup kalem. Apalagi desain cover belakangnya. Ya secara gitu ya, ini seri STPC, jadi desain cover-nya semacam post card dari editor untuk pembaca. Namun sayangnya, aku kurang suka sama kertas yang dipakai. Kertas burem:( aroma bukunya jadi nggak begitu tercium hehe *keukeuh masih cinta sama aroma buku baru*. Dan lagi menurutku kalo pakai kertas burem gampang kuningnya. Ya, aku bukan pecinta buku tua soalnya :D

 

Baik, lanjut dari segi cerita, banyak hal yang pengin aku kasih dua jempol untuk Mbak Windry.

Pertama untuk penggambaran setting. London jadi terlihat sangat cantik dan nyata dengan ramuan diksi dari Mbak Windry. Memang, di beberapa halaman terasa kurang pas karena cerita lagi seru, tapi disela sama gambaran setting. But it isn’t a problem. Aku berharap banget bisa naik London Eye bareng pacar dan bertemu Goldilocks, dikasih payung merah, dan menemukan keajaiban cinta :D *ngarep*

Oke, hal kedua yang aku suka dari novel ini adalah porsi kehadiran Goldilocks yang sangat-amat pas. Mengingat genre yang diusung dalam novel ini bukan fantasy. Kehadiran Goldilocks awalnya cukup membuat bingung dan penasaran, sampai menjelang ending aku baru paham. Lemot, ya:’)

Awalnya lagi, sempat bingung sama side story dari V—yang ditemui Gilang di pesawat saat perjalanan menuju London—dan istrinya, juga kisah Mr. Loweskey dan Madam Ellis. Fokusku sempat pecah karena cerita mereka. Tapi nyambung sama kehadiran Goldilocks, ternyata perpaduan kelima tokoh itu menjadi benang merah di akhir cerita. Manis sekali, penutupnya. Sukaaaaa sekali!!!

Hal lain yang bikin aku nggak menyesal beli buku ini yaitu perpaduan rasa. Novel ini terasa dingin, sepi dan sendu. Hujan dan kesedihan, patah hati, semua itu membuat perasaan pilu sampai ke hati. Katakanlah, novel ini membuat pembaca merasa muram. Tapi, di sisi lain aku tersenyum-senyum. Novel ini jadi mendadak terasa manis. Tiba-tiba lagi, aku jadi merasa hangat. Entah bagaimana, Mbak Windry bisa memadukan rasa yang berbeda-beda sekaligus. Terkadang terasa dingin, tapi di sisi lain bisa terasa manis. Di sisi yang lain lagi terasa begitu hangat. Ah, two thumbs up pokoknya! Keren banget, Mbak!

Dari segi alur di novel ini terasa smooth. Meskipun di awal-awal memang cukup lambat, sih. Perpindahan adegannya nggak kasar dan nggak memaksakan. Ibarat naik ayunan, Mbak Windry mengayunnya perlahan, membuatku bisa menikmati angin dan merasakannya secara lebih dalam. Bahkan, konflik dari novel ini pun menurutku terasa smooth dan sangat sederhana, sebenarnya. Tapi Mbak Windry bisa meraciknya dengan luar biasa sehingga menghasilkan cerita yang sayang untuk dilewatkan.

Aku cukup puas dengan karakter keempat sahabat Gilang—yang memiliki nama-nama fiksi seperti Brutus, Hyde, Dee and Dum—juga Ed—teman Gilang selama menginap di London. Mereka muncul memang tidak terlalu banyak di novel, tapi kehadiran mereka benar-benar bisa membuat derai tawa. Tipe-tipe sahabat resek but very lovable. Karakter yang meskipun muncul sedikit, tapi tidak berasa hanya jadi tempelan. Bahkan, tanpa celetukan sahabat Gilang sebelum ke London, mungkin nggak akan ada kisah Goldilocks si payung merah. *Ah, Mbak, aku harus belajar untuk ini kayaknya. Hehe*

Acungan jempol terakhir adalah—lagi-lagi—untuk riset dan wawasan Mbak Windry. Kereeeeeeeeen banget! Knowledge tentang lukisan, tentang roman, tentang London, berbagai macam karakter, ah, pantes deh novelnya selalu keren. Wawasannya luas banget. Risetnya juga pasti nggak main-main. *setelah ini kayaknya harus banget nemuin Mbak Windry buat sharing*

Tapi dari kelebihan-kelebihan itu, ada beberapa hal yang aku rasa mengganjal dan kurang pas. Entah hanya perasaanku atau memang iya, nyatanya karakter Gilang di novel ini kurang greget. Hmm, apa ya. Karakter Gilang terlalu sederhana buatku. Maksudnya nggak ada hal yang istimewa yang bisa aku ingat dari seorang Gilang selain seorang penulis melankolis. Nah, ini juga nyambung sama Point of View yang diambil penulis dengan PoV pertama. Sebenernya bukan masalah, sih. Hanya saja mengingat tokoh utamanya adalah seorang laki-laki, bahasanya terlalu smooth. Bahkan selama baca novel London: Angel, aku selalu mengabaikan bahwa Gilang adalah tokoh utama. Hehe, maaf Mbak. Tapi mengingat bahwa karakter Gilang adalah penulis melankolis yang menyukai roman klasik, jadi it’s okay, lah. Aku belajar buat menerima.

Berbeda dengan karakter Gilang yang terlalu sederhana, menurutku karakter Ning malah sangat berlawanan. Aku melihat karakter Ning terlalu sempurna. Cantik, bahkan sangat cantik—menurut deskripsi Gilang, bisa meraih impiannya dengan sangat mudah—kuliah jurusan seni ke London, lanjut bekerja di galeri seni ternama, punya sahabat baik kayak Gilang, dan menemukan cinta sejati. Bahkan seingatku, selama dia bekerja, aku nggak menemukan kesulitan dan halangan yang dialami Ning. Hmm, kalau aku lupa, boleh diingatkan sih ya. Tapi aku suka cara penggambarannya melalui sudut pandang Gilang. Seakan Gilang benar-benar mencintai Ning, nggak berlebihan.

Hal yang bikin aku ngerasa kurang sreg adalah kehadiran tokoh Ayu yang…, gimana ya. Dia ketemu sama Gilang hanya beberapa kali—dengan cara yang selalu kebetulan. Kok bisa, sih bikin kejutan di ending-nya? Apalagi Ayu kelihatannya cuek dan terlalu terlalu kutu buku. Ya, awalnya memang begitu kurang sreg. Tapi semua berubah begitu ada ledakan kecil di ending-nya. Bukan Windry Ramadhina kalau novelnya nggak ada kejutan hihi.

Manis. Cukup itu penggambaran untuk ending-nya. Meskipun nggak sesuai ekspektasi (berekspektasi sama si payung merah nih), tapi Mbak Windry bikin twist yang sangat tak terduga. Ada letupan kembang api kecil dalam dada disertai senyuman tipis untuk menutup kisah Gilang kali ini.

 

Dari novel ini aku belajar bahwa ketika seseorang patah hati, bukan berarti selamanya akan begitu. Suatu hari nanti hatinya akan kembali sembuh, setelah dia menemukan cinta yang baru.

 

 

Aku sangat merekomendasikan novel ini untuk kalian yang ingin merasakan rasa sendu, dingin, manis dan hangat dalam saat yang bersamaan. Untuk pecinta novel dengan cerita yang tidak terduga, novel ini juga patut untuk dibaca. Dan untuk pecinta Kota London, menyesallah kalian kalau nggak beli buku ini. Hahaha.

Kalian bisa mendapatkan novel London: Angel di Bukupedia. Just click link below, ya.

 

 

http://www.bukupedia.com/id/book/id-75257/london.html

 

 

"Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. Kau hanya belum menemukannya."

–Goldilocks, London: Angel (hal 320)

  

 

Sampai jumpa, Goldilocks. Semoga kita akan bertemu lagi di kisah-kisah yang lain!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun