Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Selain Produk Berkualitas, Mas Tanji Juga Bermodal Keramahan dan Kebaikan

16 Agustus 2021   13:08 Diperbarui: 20 Agustus 2021   11:06 1329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Tanji di samping sepeda motornya yang dipenuhi kontainer/keranjang berisi tempe, tahu, dan aneka dagangan (Foto koleksi Muhamad Nurtanji)

“Saya benar-benar salut dengan ketekunan anak itu! Dia sudah jualan keliling di kompleks ini dari tahun 90-an, kurasa saat itu dia masih anak-anak atau remaja. Teringatnya, dulu dia menjajakan dagangan naik sepeda.”

Demikian kira-kira kesaksian seorang warga senior di Perumnas Depok I, Depok Jaya yang penulis dengar tahun 2011. Lama sekali kisah tersebut mengendap dalam ingatan penulis.

Berjualan Tempe Demi Melanjutkan Sekolah

Setelah beberapa tahun tinggal di Depok, penulis bisa niteni ‘mengenali’ sejumlah pedagang keliling di kompleks. Sebentar, penulis akan coba mengingatnya!

Ada beberapa penjual roti; beberapa penjual bubur; juga penjual makanan berat, seperti lontong sayur, ketoprak, taoge goreng, satai padang/madura, bakwan malang, dan bakso. Ada penjual minuman, seperti jamu, susu, yogurt, dan cincau. Setidaknya ada 3-4 penjual sayur; sejumlah penjual lauk pauk, seperti tahu, tempe, bandeng presto, ayam ungkep, dan ikan; penjual buah, rujak, juga camilan seperti siomay dan gorengan.

Itu belum semua; bahkan penjual perabot dan aneka jasa belum disebut. Sehari-hari ada lebih dari 30 pedagang keliling yang mengadu untung di kompleks.

Nah, anak/remaja yang kisahnya mengendap dalam ingatan penulis adalah penjual tempe. Remaja tahun 90-an tersebut kini telah menjelma lelaki dewasa. Perawakannya tidak terlalu tinggi, agak gempal, dan berkulit sawo matang. Dari suaranya yang berlogat Jawa kental—maklum leluhurnya dari Blitar—kita dapat merasakan keramahan.

Muhamad Nurtanji, demikian nama pemberian orang tuanya. Penulis memanggilnya Mas Tanji. Dia pedagang keliling dengan dagangan utama berupa tempe dan tahu ditambah beberapa jenis dagangan lain.

Kesaksian warga senior pada pembuka tulisan benar adanya. Mas Tanji sudah berjualan tempe sejak pertengahan 1993. Tamat dari Madrasah Tsanawiyah (SMP) dia terpaksa berhenti sekolah karena takada biaya. Namun, dia bertekad melanjutkan sekolah. Dia berinisiatif mengumpulkan uang dengan berjualan tempe. Setelah jeda setahun, akhirnya dia bisa duduk di bangku SMA sambil terus berjualan.

“Awal mula berjualan untuk biaya sekolah. Pagi jualan, siang sekolah,” kata Mas Tanji. Dia mengambil dagangan dari bapaknya karena kebetulan beliau perajin tempe rumahan sekaligus menjualnya. Dia berkeliling di area Depok I, sedangkan sang bapak di area Depok II.

Terbayang dalam benak penulis betapa setiap hari—selama tiga tahun—Nurtanji remaja harus bermandi peluh ngonthel sepeda berjualan keliling. Sepulang jualan dia harus bergegas ke sekolah—belajar dari siang hingga sore hari.

Ternyata kerja kerasnya tidak berhenti sampai di tahun ke-3. Remaja yang semasa kecilnya bercita-cita menjadi prajurit TNI ini harus tetap berjualan bahkan setelah mengantongi ijazah SMA.

“Sebenarnya usaha itu saya lakoni sebagai batu loncatan. Saya lulus SMA saat masa transisi 97-98 ketika terjadi reformasi (ditandai Peristiwa Mei 1998, penulis). Tahulah, saat itu sangat sulit bagi lulusan SMA untuk mencari pekerjaan,” ktanya. Tersirat kegetiran dalam cerita Mas Tanji saat mengenang masa remajanya.

Begitulah. Mas Tanji tetap keliling jualan tempe seraya berusaha melamar pekerjaan berbekal ijazah SMA. Konon, dia sempat menjadi pekerja lepas sebagai pengepak majalah di sebuah perusahan di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Kebetulan waktu kerjanya siang hari, jadi bisa dilakukannya usai berjualan.

Ketekunan dalam Berdagang

Sebagian orang beranggapan jualan keliling bukan jenis usaha yang menarik, dan cenderung menjadikannya pilihan terakhir. Sebaliknya, Mas Tanji teguh dan tekun menjalaninya.

“Awalnya memang pekerjaan ini saya lakukan dengan agak terpaksa, tetapi lama-kelamaan saya menikmatinya. Berjualan tempe keliling membuat saya dapat bertemu banyak orang dengan berbagai sifat dan karakter,” ujarnya.

Tujuh hari seminggu Mas Tanji rutin berjualan. Dalam “kalendernya” tidak ada jadwal khusus untuk libur. Setiap pagi pukul 6.30 dia sudah berangkat dari rumahnya di Kelurahan Beji, Depok, dan sekitar pukul 11.30 atau maksimal pukul 12.00 dia sudah kembali.

Rute yang ditempuhnya relatif tidak berubah. “Jangkauan keliling saya adalah wilayah Beji Timur (Kompleks Poltek dan Kujang Depok Jaya) dan sekitar Depok I,” tuturnya.

Perihal modal, Mas Tanji mengaku tidak dapat mengingat dengan pasti karena awal berjualan dia mengambil tempe dari bapaknya. Pada akhir hari dia menyetorkan hasilnya setelah dikurangi komisi. Seiring berjalannya waktu—belajar dari sang bapak—dia pun bisa memproduksi tempe sendiri.

“Tapi suatu ketika harga bahan baku (kacang kedelai) tidak stabil bahkan naik sangat tajam. Kalau memproduksi tempe dalam jumlah sedikit, “hitung-hitungan” antara modal, waktu dan tenaga tidak masuk. Akhirnya, saya putuskan untuk mengambil tempe dari teman. Kebetulan kualitasnya tidak jauh berbeda,” kisahnya. 

Perlahan-lahan ketekunan Mas Tanji membuahkan hasil. Selama hampir tiga dekade, usahanya terbilang mengalami kemajuan.

Jika dahulu hanya menjajakan tempe, sekarang bisa menjual banyak jenis dagangan. Selain tempe dan tahu, dia juga menjual hasil olahannya seperti keripik tempe dan tahu bakso. Dibawanya pula lauk kreasi sang istri, seperti botok dan pepesan; juga sejumlah barang dagangan titipan, seperti sambal pecel khas Blitar serta beragam jenis kerupuk dan keripik. 

Tahun 90-an omzetnya setara penjualan 100 potong tempe seharga Rp300 per potong. Sekarang, setiap hari dia mampu menjual sekitar 25 potong tempe ukuran sedang (seharga Rp5.000 per potong); juga sekitar 700 potong tahu putih dan 300 potong tahu bakso.

Jumlah dagangan yang dibawa diperhitungkan menurut situasi dan kondisi pasar. Alhasil, jika mengalami sisa pun tidak terlalu banyak. Kalau tempe/tahu masih tersisa biasanya dimasak untuk dimakan sendiri atau diberikan kepada tetangga. 

Mas Tanji bisa mengantongi laba sampai Rp200 ribu per hari. Namun, itu bukan angka tetap. “Karena dagang mah, pasti ketemu rame dan sepi. Alhamdulillah, cukup untuk membeli beras sehari-hari,” katanya mensyukuri pencapaiannya.

“Bersyukur karena omzet dan pendapatan mengalami peningkatan. Yaa … seiring dengan kebutuhan keluarga yang juga semakin meningkat,” ujar Mas Tanji diiringi tawa renyah.

Begitu pun, berjualan keliling dengan kendaraan roda dua bukan pekerjaan ringan dan sepele. Apalagi dagangan yang dibawa cukup banyak dan harus melewati gang-gang sempit penuh “polisi tidur”. Tentu sangat tak nyaman duduk tegak berlama-lama di atas jok motor yang disesaki kontainer/keranjang serta aneka barang bergantungan. Belum lagi harus bersahabat dengan hujan panas sepanjang tahun.

Hanya mereka yang tekun yang mampu menjalaninya hingga 28 tahun.

Bermodal Keramahan dan Kebaikan 

Tempe tahu harus habis terjual dalam sehari. Jadi, setiap hari selalu membawa tempe tahu yang masih baru. Sementara aneka camilan/makanan kering bisa dijual dalam tempo relatif lebih lama. Kualitas barang dagangan harus terjaga.

Demikian prinsip dagang yang dipegang oleh Mas Tanji. Sebagai pelanggan setia, penulis mengakuinya. Botok dan pepesan yang dibawa pun selalu segar dan rasanya sangat nikmat.

Kualitas dagangan selalu dijaga (Foto koleksi Muhamad Nurtanji)
Kualitas dagangan selalu dijaga (Foto koleksi Muhamad Nurtanji)

Barang berkualitas menjadi modal utama untuk mengikat pelanggan. Namun, ada modal lain yang tak kalah penting yang selalu dijaga oleh Mas Tanji, yaitu keramahan serta kebaikan.

Dari banyak pedagang yang meramaikan perumahan rakyat pertama di Indonesia era Menteri Cosmas Batubara ini, Mas Tanji salah satu yang sangat ramah. Dia suka mengobrol dan bercanda dengan pelanggan.

Banyak pedagang seolah-olah sekadar lewat seraya berteriak atau membunyikan tanda—bel sepeda, piring dipukuli sendok, rekaman suara lewat speaker, dsb. Ketika seruan terdengar, acap kali sosoknya sudah lenyap entah belok ke mana. Tak jarang usaha penulis untuk bergegas keluar memanggil si pedagang berujung kecewa.

Sebaliknya, teriakan Mas Tanji “Tempe … tempe … tahu … tahu …!” bisa bertahan cukup lama di sepanjang gang. Seakan-akan memberi kesempatan kepada ibu-ibu yang mungkin sedang sibuk bebersih. Kalau tidak membeli, sambil menyiram tanaman penulis suka “mengganggu” dengan balas berteriak, “Saya tidak tahu …!” Mas Tanji pun akan terbahak-bahak sembari melontarkan sapaan ramah.  

Sering kali Honda Revo tahun 2010 miliknya tegak pada standar terlihat di perempatan gang. Sementara, dia melayani pelanggan sambil mengobrol dan sesekali berteriak menawarkan tempe/tahu. Tak jarang suara tawanya meramaikan pagi di sekitar tempat tinggal penulis, ditingkahi cericit burung-burung di pohon belimbing.

Kok mau ya dia berhenti lebih lama dan membuang waktu mengobrol dengan para pelanggan? Begitu penulis kerap bertanya dalam hati. Ketika pertanyaan itu akhirnya terlontar, penulis terhenyak mendapat jawaban yang sarat ilmu bisnis.

“Saya anggap semua konsumen adalah bagian dari orang-orang yang menghidupi saya sehingga saya pun harus baik kepada mereka. Keramahan dan kebaikan juga salah satu modal dalam berjualan. Zaman sekarang ini selain produk yang bagus, cara menjualnya juga harus bagus. Kalau kita punya produk bagus, tetapi cara kita menjual tidak ramah atau judes pada konsumen … ya, susah terjualnya!” ungkap Mas Tanji.

“Apalagi produk yang saya bawa kan banyak banget. Contohnya tahu; ada berapa penjual tahu di Depok I ini? Jadi, saya harus mengedepankan cara menjual. Menjadikan konsumen bagian dari diri saya sehingga ada timbal balik. Konsumen mendapat barang yang dibutuhkan, saya mendapat keuntungan dari produk yang saya jual,” pungkasnya.

Keramahannya menjadi semakin lengkap karena dia juga berjiwa welas asih.

Sebelum penulis mampu mewujudkan sejuta kebaikan untuk pedagang kecil, Mas Tanji sudah lebih dahulu membagikan kebaikan untuk sesama pedagang. Dengan ikhlas dan senang hati dia menjualkan produk camilan kering dari sejumlah pelaku UMKM meski keuntungannya tidaklah besar.

“Kalau kita belajar dulu mah … ada simbiosis, ada kerja sama, simbiosis mutualisme, kerja sama yang saling menguntungkan gitu! Orang lain memproduksi, saya bantu penjualannya. Saya pun dapat keuntungan dari penjualan. Pokok selama masih bisa saya bawa … saya bawa dah!”

Penulis tercenung mendengar penjelasan yang membawa ingatan pada pelajaran Biologi SMP tentang “Simbiosis”. Dalam kehidupan ini kita memang tidak akan dapat terlepas dari hubungan dengan makhluk hidup lain, terlebih dengan sesama manusia. 

“Keuntungan memang sedikit, yang penting lancar. Kalau sedikit-sedikit tapi banyak kan jadinya sedikit dikalikan banyak. Ya kan, Mbak?” tambahnya dengan semringah.

Memaknai Profesi dengan Bersyukur

Mas Tanji menyadari bahwa kendala dan masalah pasti selalu ada dalam setiap usaha. Sejak berjualan di masa remaja, bapak dua anak ini telah jatuh bangun melewati berbagai kendala dan masalah. “Tinggal bagaimana kita menyikapinya,” katanya.

Ada pasang surut penjualan, bahkan pernah sepi pembeli sehingga produksi harus dikurangi. Dahulu dia bahkan harus “gali lubang tutup lubang” untuk bisa mendapatkan modal usaha. “Cuma karena saya merasa ini adalah jalan hidup, ya tetap saya jalani dengan tekun!” tuturnya penuh kesungguhan.

Mas Tanji berhasil melewati berbagai kendala hingga tahun 2021 ini, bahkan mampu bertahan di tengah pandemi yang meluluhlantakkan banyak usaha. Dia memaknai profesinya dengan senantiasa bersyukur dan menekuninya penuh kesabaran.  

“Saat pandemi ini, usaha mana sih yang enggak berdampak? Tapi harus tetap kita jalani karena kehidupan tidak bisa berhenti. Kita harus bertahan hidup. Alhamdulillah! Saya hanya mensyukuri saja karena masih bisa keliling seperti biasa. Banyak teman-teman, terutama yang mangkal harus memutar otak agar usaha tetap eksis karena waktu bukanya dibatasi.”

Mas Tanji adalah tulang punggung keluarga. Saat ini dia harus menghidupi istri dan dua buah hatinya; juga membantu bapak mertua serta dua iparnya yang pekerjaannya terdampak pandemi. Usaha berjualan tempe adalah sumber penghasilan utama yang selama ini menjadi penopang kehidupan keluarganya.

Walaupun begitu dia bersyukur karena di rumah istrinya bisa membuka warung kuliner kecil-kecilan—berjualan seblak, bakso, dan bakso aci. Menurut pengakuannya, hasilnya membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Setidaknya, sang istri bisa membeli ini-itu tanpa mengganggu “uang belanja rumah tangga”.

Dia tak habis-habisnya mensyukuri profesinya. Bahkan saat dibandingkan dengan pekerja kantoran, dia merasa lebih beruntung. “Justru dengan profesi ini saya bisa memiliki banyak waktu untuk keluarga maupun diri sendiri. Pulang jualan saya masih bisa melakukan banyak aktivitas, menjalankan hobi, juga berorganisasi.”

Pria yang gemar bermain bulutangkis serta memelihara burung dan ayam ini memang seorang yang suka bersosialisasi. Dia aktif berorganisasi, baik di lingkungan RT/RW maupun di tingkat kelurahan.

Di antara rutinitasnya, Mas Tanji juga meluangkan waktu untuk menularkan ilmu agama kepada anak-anak di sekitar rumahnya. Setiap hari bakda magrib dia membimbing tak kurang dari 30 anak untuk belajar mengaji.

Setiap bakda magrib Mas Tanji membimbing anak-anak di lingkungan rumahnya belajar mengaji (Foto koleksi Muhamad Nurtanji)
Setiap bakda magrib Mas Tanji membimbing anak-anak di lingkungan rumahnya belajar mengaji (Foto koleksi Muhamad Nurtanji)

Harapan Sederhana

Boleh dibilang usaha dagang Mas Tanji masih dijalankan dengan cara konvensional. Promosi pun nyaris tidak pernah dilakukannya. Beruntung belakangan dia sudah memiliki ponsel pintar yang cukup membantu.

Sesekali pelanggan menghubunginya lewat telepon/WhatsApp untuk memintanya mampir atau melakukan pesanan. “Mereka juga membagikan nomor saya kepada sanak familinya,” imbuhnya.

Tidak ada target khusus untuk membesarkan usaha. Harapan Mas Tanji sederhana. Dia hanya berharap usahanya bisa terus berjalan. Sungguh pun demikian harapan itu tidak sesederhana yang terdengar. Terlebih bila mengingat fluktuasi harga kedelai di tanah air yang kerap terjadi dan sangat menyulitkan produsen maupun pedagang tempe/tahu.

“Yang penting harga kedelai tidak goyang-goyang seperti belakangan terjadi. Sepanjang sejarah saya menjalani usaha kenaikan harga kedelai belakangan adalah yang paling fantastik, hampir mencapai 100%,” jelasnya penuh harap.  

Harapan Mas Tanji mungkin sederhana, tetapi semangatnya membara. Meskipun puluhan tahun berjuang menyusuri jalan-jalan Kota Depok yang tak selalu mulus, dia tak pernah putus asa. Bahkan, baginya seakan-akan takada istilah pensiun.

“Profesi ini adalah jalan hidup saya. Jadi, ya akan saya jalani semampu saya. Mudah-mudahan saya sehat terus. Selama badan masih sehat saya akan tetap berkeliling menemui para pelanggan.”

Harapan untuk kedua buah hatinya—seorang anak laki-laki yang duduk di bangku Kelas 3 SMP dan adik perempuannya yang duduk di bangku Kelas 4 SD—juga tidak muluk-muluk. “Semua orang tua termasuk saya pasti berharap agar anak-anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya.”

Dalam harapan-harapan sederhana itu terpancar kepasrahan kepada Sang Pemilik Hidup. Hidup manusia memang milik Allah semata, dan selalu ada campur tangan-Nya dalam setiap langkah.   

Sembari menikmati mendoan yang dibuat dari tempe segar jualan Mas Tanji, penulis turut mengamini doa serta semua harapan tersebut. Karena bagi Allah tiada yang mustahil!

**

Depok, 16 Agustus 2021
Salam UMKM, Dwi Klarasari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun