Uniknya, beberapa kali sang penulis mengalami semacam deja vu. Di antara tumpukan naskah kuno dan kunjungan ke sejumlah makam, gereja, dan bangunan tua, ia merasa sedang berada dalam masa kehidupan para pionir pada abad ke-19. Boleh jadi karena efek deja vu pula segenap jiwa penulis seakan-akan "ikut terlibat" dalam Jejak Cinta.
Sejarawan berdarah Inggris Prof. Dr. Peter Carey, DPhil, MA dalam kata pengantar tampaknya menggarisbawahi hal tersebut.
"Tulisan Connie Lianto yang mengalir, bertutur seperti sebuah buku harian yang mengisahkan perziarahan menuju kepada Sang Sumber, menghidupkan kembali perjalanan spiritual pelayanan para suster Ursulin di Jawa yang berawal dari akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20." (Prof. Dr. Peter Carey, DPhil, MA ~ Jejak Cinta, hlm. xxv) Â
***
Saya benar-benar tidak habis pikir saat mendengar alasan sang penulis menerbitkan memoar ini. Menurut pengakuannya, Jejak Cinta merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasihnya sebagai seorang alumnus kepada para pionir Ursulin.
Takbisa dimungkiri para biarawati Ursulin telah berjasa membangun pondasi pendidikan bagi anak-anak perempuan di Indonesia-dalam perkembangannya sejumlah sekolah juga menerima siswa laki-laki.Â
Jika dihitung dari tahun 1856, entah sudah berapa banyak anak yang turut menikmati pendidikan ala Ursulin.
Penulis sendiri pernah mengenyam pendidikan di SMA Regina Pacis, Surakarta, sekolah swasta yang dikelola oleh suster-suster Ursulin di bawah Ordo Santa Ursula (OSU). Â
Latar pendidikan tinggi penulis adalah komputer/IT, dan ia bekerja di bidang hospitality. Tanpa pernah memiliki pengalaman menerbitkan buku, ia berhasil menulis buku setebal 304 halaman. Jejak Cinta adalah karya perdananya. Modal terbesarnya adalah hasrat penuh cinta sebagai alumnus sekolah Ursulin.