Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tukang Jagal

10 Maret 2021   12:04 Diperbarui: 10 Maret 2021   12:11 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran musim hujan senantiasa dinanti karena akan menumbuhkan tunas-tunas baru. Tanaman pun tumbuh subur tanpa perlu disiram. Namun, cuaca ekstrem cenderung menakutkan. Sering kali hujan turun disertai angin kencang, bahkan tak jarang ditingkahi guruh dan petir.  

Pohon mangga di depan rumah Doni sudah cukup tinggi dan rimbun. Sudah saatnya dipangkas. Ketika pindah ke rumah yang dibelinya dua bulan lalu, beberapa tetangga bahkan langsung mengingatkan Doni untuk menghubungi tukang taman.  

Doni selalu menundanya. Alasannya, ia dan istrinya masih sibuk menata bagian dalam rumah. Lagi pula pohon mangga gedong gincu itu sedang berbuah. Banyak pula. Sayang Mas, begitu istrinya mencegah.

Belakangan satu dua tetangga mulai komplain karena pucuk pohon tertinggi nyaris menyentuh kabel jaringan listrik.

“Bahaya tuh Bang, mana sedang musim hujan petir. Buruan panggil tukang taman, suruh dia pangkas atau tebang sekalian!” tegur Pak Komari tetangga sebelah sedikit ketus.

“Siap Pak!” balas Doni basa-basi

Doni masih bergeming. Dilihatnya rumah tetangga seberang yang bertingkat tiga jauh lebih tinggi. Doni ingat pelajaran Fisika. Konon, secara umum petir akan dominan menyambar bagian permukaan bumi yang paling tinggi di suatu kawasan. Pohon manggaku masih aman dong, pikir Doni santai.

Apalagi dilihatnya pada atap rumah tiga lantai itu telah terpasang penangkal petir.

Namun, gegara hujan angin semalam Doni takbisa lagi mengelak. Apes, katanya. Dua cabang pohon yang cukup besar patah karena kuatnya angin. Terpaksa Doni pun harus menjadwalkan pemangkasan.

***

Hari ini Doni bersepeda keliling kompleks mencari-cari tukang taman. Kata petugas keamanan, si tukang taman mungkin sedang mengurus salah satu taman yang ada di kompleks perumahan yang cukup luas itu.

Sebagai penghuni baru Doni sama sekali belum pernah bertemu dengan si penata taman. Begitu pun ia tidak teringat untuk menanyakan ciri-cirinya.

Doni hampir mencapai taman di ujung kompleks. Dari kejauhan dilihatnya seseorang sedang duduk selonjor bersandar pada pohon trembesi. Sepertinya orang itu sedang melepas lelah.

“Mungkinkah itu si tukang taman?” pikir Doni sambil terus mengayuh sepeda mendekati lokasi.

Dari jarak dekat Doni bisa melihat lebih jelas. 

Doni dapat membayangkan bila orang yang berselonjor itu pasti pria berperawakan tinggi dan kekar. Baju dengan lengan yang digulung sebatas siku tampak lusuh, kotoran menempel di sana-sini. Celananya yang berbahan dril berlubang di beberapa bagian. Cocok sih untuk orang yang sedang mengurus taman.

Namun, perasaan Doni berubah jeri.

Tampang orang itu sangat menyeramkan. Setidaknya bagi ukuran pria metroseksual sepertinya yang cenderung tampil klimis. Rambut orang itu gondrong sebahu. Kumisnya pun tebal. Raut mukanya bahkan memiliki guratan-guratan tajam bak suku Indian di film-film Hollywood.

Tepat ketika Doni menghentikan sepeda di pinggir taman orang tersebut beranjak. Tangan kanannya yang memegang parang menahan tubuhnya yang kekar. Sekejap Doni merinding ketika ekor matanya menangkap sebentuk tato menghiasi lengan pria itu.

J A G A L

Demikian sederet huruf dari pangkal pergelangan tangan hingga batas siku yang terbuka. Sebelum huruf “J” tercetak pula tato kawat duri serta bunga mawar melingkari pergelangannya.

“Jangan-jangan orang ini preman. Tatonya JAGAL. Apa dia bekas tukang jagal?” pikiran Doni semakin liar dihantui rasa takut.

Doni terpaku. Bulu kuduknya meremang. Meskipun siang bolong, tetapi ujung kawasan itu sangat sepi. Ingin rasanya ia segera mengayuh sepeda berbalik arah meninggalkan taman, tetapi tubuhnya terasa kaku tak dapat bergerak. Bahkan, kedua kakinya seolah-olah terpaku di tanah.

Sekejap orang itu berdiri dan melangkah ke arah Doni. Tangan kanannya memegang parang, sedangkan tangan kirinya menenteng topi koboi. Langkahnya gagah seperti pasukan siap berperang. Melihat itu sekujur tubuh Doni mengejang. Keringat dingin membasahi kaus oblongnya.  

“Anda siapa?” sergah pria bertato itu dengan suara garang.

“Do... eh, sa... saya Don... Doni, Pak’” terbata-bata Doni menjawab tanpa berani menatap mata si pria.

“Orang mana? Perlu apa keluyuran sampai ujung kompleks?” perlahan-lahan nada suara si pria melembut.

Doni berusaha memasang senyum, lalu memperkenalkan diri, “Eh, ehm... sa... saya warga baru di sini Pak. Saya membeli rumah di Blok G!”

Tetiba orang itu tersenyum ramah, “Oooh! Saya kira orang asing yang mengamat-amati kompleks. Maaf Pak, eh Mas Doni, saya sekadar waspada. Belakangan banyak modus perampokan baru! Mas Doni nyasar?”

“Gapapa Pak!” Doni mulai lancar berkata-kata.

“Saya enggak nyasar, tapi ini sedang nyari-nyari tukang taman,” pungkasnya.

“Oalaah! Saya Poniman tukang taman itu. Panggil saja Pon,” balas pria bernama Poniman itu seraya mengangguk takzim.

“Salam kenal Pak Pon!” suara Doni terdengar semringah penanda hilangnya rasa takut. Ia pun segera menyandarkan sepedanya dan beranjak menghampiri Pak Poniman.

***

Tak berapa lama Doni dan Pak Poniman sudah duduk bersama di rerumputan dinaungi rindangnya trembesi. Alih-alih menyampaikan maksud hatinya, Doni malah asyik menanyakan latar belakang pria eksentrik itu.

Perbincangan semakin seru ketika Pak Poniman mengeluarkan bekalnya. Setermos kopi hitam dan sekotak singkong goreng.

“Sejujurnya saya tadi takut lihat penampilan Pak Pon,”ungkap Doni.

Pak Poniman tertawa lepas. “Saya tahu. Kelihatan sekali dari ekspresi Mas Doni. Kalau warga lama di kompleks ini semua sudah kenal saya,” katanya.

“Maaf kalau saya bikin Mas Doni takut. Saya masih suka tampil begini meskipun sudah pensiun jadi intel,”jelas Pak Poniman tanpa ditanya.

Doni mengangguk-angguk paham, lalu refleks terlontar rasa penasarannya, “Tapi kenapa tato Pak Pon tulisannya JAGAL? Maaf, apa di intelijen memang ada istilah tukang jagal?”

“Oooh...,” singkat tanggapan Pak Pon. 

Namun, sambil tersenyum ia mulai menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi. Lantas disorongkannya kedua lengannya yang penuh tato ke arah Doni. Senyumnya kian lebar saat melihat mata Doni yang terbelalak.

Usai membaca tato di kedua lengan Pak Pon, tawa Doni pecah membelah udara siang. Terbayang ketakutan Doni sebelumnya, Pak Poniman pun ikut terbahak-bahak. Tawa keduanya menggema ke seluruh penjuru kompleks.

Tato di lengan kanan Pak Pon berbunyi “JAGALAH”, sedangkan yang di lengan kirinya “KEBERSIHAN”.

JAGALAH KEBERSIHAN!

Depok, 10 Maret 2021
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari

Catatan: 
Cerpen ini berlatar waktu sebelum masa pandemi Covid-19. Begitu pun mari kita ingat pesan Pak Pon untuk selalu menjaga kebersihan! Rajin mencuci tangan dengan sabun, terutama demi mengantisipasi virus corona. Jangan lupa pakai masker serta jaga jarak dan jauhi kerumunan. Semoga pandemi ini segera berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun