***
Tak berapa lama Doni dan Pak Poniman sudah duduk bersama di rerumputan dinaungi rindangnya trembesi. Alih-alih menyampaikan maksud hatinya, Doni malah asyik menanyakan latar belakang pria eksentrik itu.
Perbincangan semakin seru ketika Pak Poniman mengeluarkan bekalnya. Setermos kopi hitam dan sekotak singkong goreng.
“Sejujurnya saya tadi takut lihat penampilan Pak Pon,”ungkap Doni.
Pak Poniman tertawa lepas. “Saya tahu. Kelihatan sekali dari ekspresi Mas Doni. Kalau warga lama di kompleks ini semua sudah kenal saya,” katanya.
“Maaf kalau saya bikin Mas Doni takut. Saya masih suka tampil begini meskipun sudah pensiun jadi intel,”jelas Pak Poniman tanpa ditanya.
Doni mengangguk-angguk paham, lalu refleks terlontar rasa penasarannya, “Tapi kenapa tato Pak Pon tulisannya JAGAL? Maaf, apa di intelijen memang ada istilah tukang jagal?”
“Oooh...,” singkat tanggapan Pak Pon.
Namun, sambil tersenyum ia mulai menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi. Lantas disorongkannya kedua lengannya yang penuh tato ke arah Doni. Senyumnya kian lebar saat melihat mata Doni yang terbelalak.
Usai membaca tato di kedua lengan Pak Pon, tawa Doni pecah membelah udara siang. Terbayang ketakutan Doni sebelumnya, Pak Poniman pun ikut terbahak-bahak. Tawa keduanya menggema ke seluruh penjuru kompleks.
Tato di lengan kanan Pak Pon berbunyi “JAGALAH”, sedangkan yang di lengan kirinya “KEBERSIHAN”.