Doni terpaku. Bulu kuduknya meremang. Meskipun siang bolong, tetapi ujung kawasan itu sangat sepi. Ingin rasanya ia segera mengayuh sepeda berbalik arah meninggalkan taman, tetapi tubuhnya terasa kaku tak dapat bergerak. Bahkan, kedua kakinya seolah-olah terpaku di tanah.
Sekejap orang itu berdiri dan melangkah ke arah Doni. Tangan kanannya memegang parang, sedangkan tangan kirinya menenteng topi koboi. Langkahnya gagah seperti pasukan siap berperang. Melihat itu sekujur tubuh Doni mengejang. Keringat dingin membasahi kaus oblongnya.
“Anda siapa?” sergah pria bertato itu dengan suara garang.
“Do... eh, sa... saya Don... Doni, Pak’” terbata-bata Doni menjawab tanpa berani menatap mata si pria.
“Orang mana? Perlu apa keluyuran sampai ujung kompleks?” perlahan-lahan nada suara si pria melembut.
Doni berusaha memasang senyum, lalu memperkenalkan diri, “Eh, ehm... sa... saya warga baru di sini Pak. Saya membeli rumah di Blok G!”
Tetiba orang itu tersenyum ramah, “Oooh! Saya kira orang asing yang mengamat-amati kompleks. Maaf Pak, eh Mas Doni, saya sekadar waspada. Belakangan banyak modus perampokan baru! Mas Doni nyasar?”
“Gapapa Pak!” Doni mulai lancar berkata-kata.
“Saya enggak nyasar, tapi ini sedang nyari-nyari tukang taman,” pungkasnya.
“Oalaah! Saya Poniman tukang taman itu. Panggil saja Pon,” balas pria bernama Poniman itu seraya mengangguk takzim.
“Salam kenal Pak Pon!” suara Doni terdengar semringah penanda hilangnya rasa takut. Ia pun segera menyandarkan sepedanya dan beranjak menghampiri Pak Poniman.