Hari ini Doni bersepeda keliling kompleks mencari-cari tukang taman. Kata petugas keamanan, si tukang taman mungkin sedang mengurus salah satu taman yang ada di kompleks perumahan yang cukup luas itu.
Sebagai penghuni baru Doni sama sekali belum pernah bertemu dengan si penata taman. Begitu pun ia tidak teringat untuk menanyakan ciri-cirinya.
Doni hampir mencapai taman di ujung kompleks. Dari kejauhan dilihatnya seseorang sedang duduk selonjor bersandar pada pohon trembesi. Sepertinya orang itu sedang melepas lelah.
“Mungkinkah itu si tukang taman?” pikir Doni sambil terus mengayuh sepeda mendekati lokasi.
Dari jarak dekat Doni bisa melihat lebih jelas.
Doni dapat membayangkan bila orang yang berselonjor itu pasti pria berperawakan tinggi dan kekar. Baju dengan lengan yang digulung sebatas siku tampak lusuh, kotoran menempel di sana-sini. Celananya yang berbahan dril berlubang di beberapa bagian. Cocok sih untuk orang yang sedang mengurus taman.
Namun, perasaan Doni berubah jeri.
Tampang orang itu sangat menyeramkan. Setidaknya bagi ukuran pria metroseksual sepertinya yang cenderung tampil klimis. Rambut orang itu gondrong sebahu. Kumisnya pun tebal. Raut mukanya bahkan memiliki guratan-guratan tajam bak suku Indian di film-film Hollywood.
Tepat ketika Doni menghentikan sepeda di pinggir taman orang tersebut beranjak. Tangan kanannya yang memegang parang menahan tubuhnya yang kekar. Sekejap Doni merinding ketika ekor matanya menangkap sebentuk tato menghiasi lengan pria itu.
J A G A L
Demikian sederet huruf dari pangkal pergelangan tangan hingga batas siku yang terbuka. Sebelum huruf “J” tercetak pula tato kawat duri serta bunga mawar melingkari pergelangannya.
“Jangan-jangan orang ini preman. Tatonya JAGAL. Apa dia bekas tukang jagal?” pikiran Doni semakin liar dihantui rasa takut.