Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Siter atau Godril, Camilan Jadul dari Biji Pohon Trembesi

24 November 2020   11:56 Diperbarui: 24 November 2020   12:07 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hey... sexy... di tempatku pun namamu trembesi. Tapi kalau bijimu yang disangrai sebagian orang menyebutnya siter... ."

Demikian komentar seorang sahabat ketika mendapati nama trembesi disebut lebih seksi dalam puisi berjudul Namaku Trembesi, Dengarlah Pintaku Ini! yang saya bagikan di Kompasiana pada Hari Pohon Sedunia 2020 (K, 21/11).

Meskipun tidak menyebut namanya, sahabat Kompasianer Budi Susilo juga memberi komentar senada, "Selain sebagai pohon peneduh, sangrai bijinya rasanya gurih."

Dalam bahasa Sunda ada siter alat musik petik berdawai. Nah, siter yang dimaksud sahabat saya adalah camilan tradisional yang dahulu sangat populer. Beberapa daerah lain di Pulau Jawa, menyebut siter dengan nama godril atau mindhik.

Siter, godril, mindhik,  atau apa pun namanya merujuk pada camilan semacam "kacang" yang diolah dari biji pohon trembesi (Albizia saman atau Samanea saman). Seperti tersirat dalam puisi saya, pohon trembesi di beberapa daerah juga disebut munggur, suar, baujan, kayu ambon, ki hujan atau pohon hujan (rain tree). 

Baca juga: Namaku Trembesi, Dengarlah Pintaku Ini! 

Buah trembesi berbentuk polong lurus sedikit melengkung dengan panjang 10 s/d 40 cm. Lebarnya kira-kira 2 s/d 3 cm. Buah yang sudah kering memiliki warna kehitaman. 

Sementara, biji-biji buah trembesi yang tersusun rapi dalam polong memiliki kulit berwarna cokelat kehitaman. Biji yang keras tersebut berbentuk lonjong.  

Buah trembesi yang kering dan terdampak angin keras dapat pecah dan jatuh dengan sendirinya. Kita dapat dengan mudah menemukan biji-biji trembesi bertebaran di bawah atau sekeliling pohon raksasa bertajuk lebar itu.

Daun, bunga, buah, dan biji pohon trembesi (Ilustrasi: wikiwand.com)
Daun, bunga, buah, dan biji pohon trembesi (Ilustrasi: wikiwand.com)

Kembali pada camilan siter atau godril!

Disulut obrolan dan komentar di atas, mau tak mau saya pun ikut membuka memori dan kembali ke masa-masa ketika camilan siter atau godril masih cukup populer. Saya sepakat dengan pendapat Pak Budi yang menyebut rasa godril itu gurih. Selain enak dan gurih, sebenarnya juga unik!

Setelah mengonsumsi godril seseorang biasanya akan cenderung buang gas. Meskipun terkesan kurang sopan, konon efek tersebut memberikan faedah yaitu meredakan gejala kembung.

Oya, siter atau godril dibuat dengan memasak biji-biji trembesi yang sudah diambil dari polongnya. Jika masih lembap, polong harus dijemur dahulu hingga kering dan mudah dibuka atau dipecah. Biji-biji yang sudah dikeluarkan dicuci bersih dan direndam air panas agar empuk (medhok, dalam bhs. Jawa). Selanjutnya dijemur lagi hingga kering.

Tanpa dikupas lagi, biji trembesi yang telah bersih dan kering dimasak dengan metode sangrai. Sangrai atau sangan adalah cara menggoreng tanpa menggunakan minyak sama sekali. Biji trembesi yang disangrai kalau sudah masak akan berwarna kecokelatan.

Jika digoreng sangat matang kulitnya yang menghitam cenderung terlepas. Orang Jawa menyebutnya mlethek. Menikmati siter atau godril yang sudah tidak berkulit cenderung lebih mudah. Sementara yang masih berkulit dinikmati seperti makan kwaci.

Dahulu camilan unik ini banyak dijual di pasar atau warung-warung. Ada yang dibungkus dengan plastik, ada juga yang dibungkus kertas berbentuk kerucut (conthong, dalam bhs. Jawa). Menurut sahabat saya, dahulu kala di kampungnya harga siter setengah plastik es lilin sekitar mang ripis (bahasa Jawa, artinya lima rupiah). Idiiih tahun berapa tuh masih ada uang receh lima rupiah? Tampak sekali aroma "zaman old" ya? Hehe...

Sekejap saya menduga camilan tempo doeloe ketika cheese stick atau onion ring belum dikenal tersebut hanya tinggal kenangan. "Zaman milenial begini mana ada lagi sih yang jualan godril?" Demikian yang terlintas dalam benak saya seraya iseng menuliskan "godril" sebagai kata kunci pada mesin pencari Google.  

Oh my God! Ternyata ada saudara-saudara!

Ilustrasi: https://www.picuki.com/profile/Setenpo
Ilustrasi: https://www.picuki.com/profile/Setenpo

Bukan bermaksud promosi, tetapi di google saya menemukan fakta bahwa kuliner jadul tersebut ternyata masih eksis. Kita dapat dengan mudah menemukannya di sejumlah marketplace. Jadi, kita dapat membelinya secara daring.

Tidak sedikit UMKM yang menjadikan camilan jadul ini sebagai lahan bisnis. Siter, godril, atau mindhik dijual dalam berbagai kemasan. Harga per kilonya dibandrol hingga 64 ribu rupiah. 

Sementara kemasan kecil harganya sekitar lima ribuan. Begitu pun ada juga yang menjual biji trembesi mentah, baik sebagai bibit maupun untuk diolah. Bagaimana? Adakah yang tertarik untuk berbisnis camilan dari biji trembesi?

Akhir kata, untuk para pembaca "zaman old" yang pernah kenal dan kangen dengan camilan tempo doeloe ini silakan langsung meluncur ke aplikasi terkait. Tulis saja "godril" sebagai kata kunci. Boleh jadi ada pula di antara generasi milenial yang penasaran ingin mencicipi camilan unik ini. Selamat mencoba!

Depok, 24 November 2020

Salam kuliner, Dwi Klarasari  

Bacaan:   1   |   2   |  3  |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun