Singkat cerita, saat duduk di bangku SMP saya sudah terampil mengoperasikan mesin tik "brother", dan bisa menghasilkan uang dari pekerjaan mengetik. Namun, keterampilan tersebut tidak mendukung nilai saya dalam Pelajaran Mengetik di sekolah.
Di kelas satu sekolah menengah atas, sebelum mendapat Pelajaran Komputer kami semua wajib mengikuti Pelajaran Mengetik menggunakan mesin tik manual (merek brother atau lainnya) dengan mengikuti aturan baku.
Pelajaran Mengetik membuat saya tersiksa. Bayangkan saja, di rumah saya terbiasa mengetik skripsi dengan cepat, tetapi di sekolah saya harus belajar lagi dari nol. Kami harus mengetik sepuluh jari dengan huruf-huruf pada mesin tik ditutup lakban hitam. Â
Saya teringat betapa kami harus mengetik "asdfjkl;" atau "qwertyuiop" atau rangkaian huruf lain berlembar-lembar banyaknya. Kami harus menggunakan jari-jari yang tepat dan tidak boleh ada kesalahan. Waktu itu saya merasa seperti melakukan pekerjaan bodoh.
Keterampilan mengetik yang saya dapat tidak berdasarkan aturan baku. Alih-alih mengajari teori "Mengetik 10 Jari", ayah saya mengajari bagaimana mengetik dengan cepat, teliti, dan akurat. Boleh jadi prinsip di baliknya adalah semakin cepat selesai semakin cepat pelanggan membayarnya. Haha! Alhasil, saya pun terbiasa mengetik sepuluh jari dengan cepat, tetapi dengan posisi jari sesuka hati.
Beruntunglah guru Pelajaran Mengetik bukan hanya cantik dan lembut, tetapi juga sangat sabar. Namanya Bu Yanti.
Kemudian hari, saya tidak hanya membantu mengetik skripsi, tetapi mulai mengetik untuk menulis. Dengan mesin tik "brother" milik ayah, saya mulai berani mengirimkan sejumlah tulisan ke koran dan majalah. Lumayan juga bisa mendapat tambahan uang jajan.
Saya teringat betapa hobi korespondensi dan kegiatan mengirim tulisan ke koran/majalah menjadikan kantor pos sebagai salah satu tempat favorit. Kantor Pos Bangkong di Kota Lunpia-di perempatan bangkong (Jl. Brigjen Katamso No. 1)-adalah bangunan bersejarah dalam hidup saya.