Ayah dan "saudara lelakinya" tak bisa dilepaskan dari perjalananku di dunia tulis-menulis. Talentaku menulis sudah pasti menurun dari ayah ibuku karena keduanya adalah guru yang memiliki bakat menulis. Namun, inspirasi dan pelajaran teknis terbesar sejatinya disulutkan oleh ayah dan "saudara lelakinya".
Ayah Multitalenta
Di masa kecil saya melihat ayah sebagai sosok yang memiliki banyak sekali kepandaian dan keterampilan. Sepanjang ingatanku ayah bisa melakukan aneka pekerjaan, mulai dari yang kasar sampai yang sangat lembut dan perlu ketelitian.
Belakangan setelah aku besar baru kupahami bahwa ayah siap melakoni pekerjaan apa pun demi tercukupinya kebutuhan keluarga dan agar anak-anaknya bisa bersekolah. Kalaupun sebelumnya suatu pekerjaan tidak dikuasainya, ayah akan belajar dengan cepat. Dalam ingatan saya ayah pernah belajar fotografi dan teknik cetak, cetak-mencetak, pijat refleksi, mendalang dan pewayangan, pranatacara (pewara untuk upacara adat Jawa), dan banyak lagi. Â Â Â
Salah satu talenta ayah adalah menulis. Selain mengajar di sebuah SMA, ayah sempat melakoni pekerjaan sebagai wartawan di tabloid dan majalah. Ayah juga menulis buku dan menerbitkannya secara indie. Uniknya semua itu dikuasainya tanpa menempuh jalur pendidikan khusus. Saya mafhum jika itulah yang disebut bakat alami.
Saya pun tak bisa mengelak jika bakat menulis saya diturunkan dari beliau. Diturunkan dalam konteks ini juga tak terpisahkan dari ketertarikan yang muncul karena atmosfer literasi dalam keluarga. Selain itu juga adanya keterlibatan langsung dan terus-menerus dalam pekerjaan terkait.
Sebagai contoh sederhana, sejak kecil kami terbiasa mendengar dongeng sebelum tidur. Setiap malam ayah atau ibu bergantian mendongeng. Saya tidak pernah melihat sih, tetapi boleh jadi ayah ibu melakukan suit sebelum mendongeng. Hahaha...
Selain mendongeng, ayah ibu tampaknya juga berkomitmen untuk menyediakan bacaan bagi kami. Kendati hidup sederhana, di rumah selalu tersedia majalah anak. Saya masih ingat betapa gembiranya setiap kali melhat majalah baru. Kami juga terbiasa melihat banyak buku bertumpuk-tumpuk di rumah karena ayah pernah memiliki persewaan buku.
Konon, kesukaan membaca berpotensi memicu ketertarikan seseorang untuk menulis. Saya turut mengamini quote yang satu ini.Â
Hobi Ayah Menulis Surat (?)
Selain bawaan "DNA" serta tradisi mendengar dongeng dan membaca sejak kecil, satu lagi yang menumbuhkan minat menulisku adalah hobi korespondensi.
Ayah maupun ibuku memiliki hobi surat-menyurat (korespondensi). Ini hanya pendapat saya. Boleh jadi yang mereka lakukan sebenarnya bukan hobi, tetapi pada zamannya komunikasi jarak jauh yang paling murah memang dengan saling berkirim surat (pos). Telepon masih mahal, internet belum ada. Ayah ibu rajin berkorespondensi dengan keluarga di kampung masing-masing atau saudara yang tinggal di kota lain.
Kami anak-anaknya sesekali diizinkan untuk turut membaca dan/atau membalas surat dari kakek/nenek, pakde/bude, atau paklik/bulik. Tentu saja hanya pada bagian yang sesuai untuk usia kami. Saya ingat kekhasan tulisan tangan generasi mereka adalah condong lebih dari 30 derajat, entah ke kanan atau kiri.Â
Bisa ditebak, saya pun kemudian memiliki hobi korespondensi. Surat pertama saya-yang ditulis tanpa campur tangan orang lain-saya kirimkan untuk ayah yang ketika itu sedang kuliah di Yogyakarta.
Hobi korespondensi tak pernah lekang hingga saya dewasa dan muncul surat elektronik (email). Di perantauan surat-menyurat dengan orang tua, saudara, dan teman-teman menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian saya.
Saya hampir yakin kebiasaan menulis atau bercerita melalui surat juga menjadi embrio minat menulis.
"Saudara Lelaki" Ayah
Kedatangan "saudara lelaki" ayah di rumah kami, agaknya menjadi pemicu baru minat menulis yang diam-diam sudah bersembunyi ke alam bawah sadar saya. Dengan bantuan "saudara lelaki" ayah saya pun mengenal teknologi baru menulis dan bagaimana menghasilkan uang dari tulisan.
Oya, sebelum kisah ini berlanjut, saya ingin menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan "saudara lelaki" ayah di sini tidak lain adalah mesin tik bermerek "brother".
Bukankah dalam bahasa Indonesia brother artinya saudara laki-laki? Hehe, mohon dimaklumi ya! Ketika mengenal kata "brother" saya baru belajar bahasa Inggris. Alhasil, bangga sekali bisa menerjemahkan merek "brother" pada mesin tik ayah.
Seingat saya ayah membawa mesin tik "brother" sepulang dari kuliahnya di Yogyakarta. Lamat-lamat saya ingat betapa ayah membiarkan kami mulai "memainkan" mesin tik tersebut. Lama-kelamaan ayah pun mengajari saya cara menggunakan mesin tersebut dengan benar. Cara memasang kertas, memasang kertas rangkap dengan karbon, mengetik dan membuat spasi, dan seterusnya hingga mengetik dengan benar dan tepat.
Dalam keseharian ayah mengajak "saudara lelakinya" itu untuk melakukan pekerjaan sambilan, yaitu membuka jasa pengetikan. Kala itu komputer adalah barang mahal. Masih banyak anak sekolah, mahasiswa, dan pegawai yang mencari jasa pengetikan untuk membuat karya tulis, skripsi, laporan, dan sejenisnya.
Dalam perjalanannya ayah juga membuka usaha percetakan. Jadi, selain mengetikkan naskah para pelanggan juga memesan kover. Sebelum berkembang menjadi percetakan dengan mesin offset, pembuatan kover dikerjakan dengan mesin cetak berteknologi manual (letterpress machine). Percetakan dan jasa pengetikan itu dinamai "Dina Aksara" untuk mengenang Dina, adikku yang meninggal dalam sebuah kecelakaan.  Â
Dari sekadar iseng dan autodidak, keterampilan saya mengetik pun semakin meningkat. Ayah juga terus-menerus mengajari cara mengerjakan pengetikan karya tulis dan skripsi secara benar. Harus telaten dan hati-hati terutama karena rata-rata pengetikan dibuat dalam rangkap 2-3. Saya cukup bangga karena bisa mengetik dengan cepat dan tepat.
Akhirnya, ayah berani memercayai kami untuk mengetik beberapa bagian naskah. Kami bersemangat jika mengetik pada bagian yang hanya berisi keterangan foto atau nomor halaman karena harganya sama dengan bagian yang berisi ratusan kalimat. Kami paling heboh saat selesai menuliskan nomor halaman dan mengeluarkan kertas dari rol mesin tik. Biasanya kami akan meneriakkan harga per lembar seperti "Dua ratus lima puluuuuh!" sambil tertawa gembira.
Begitulah! Sejak saat itu kami tidak hanya mengetahui seluk-beluk jasa pengetikan, tetapi juga kegiatan cetak-mencetak. Dalam perjalanannya, kami juga ditugaskan menjadi pengoreksi draft cetakan (proofreader) sebelum dicetak pada material final sesuai pesanan.
Tugas proofreader cukup berat karena kesalahan bisa berakibat fatal. Kesalahan terbesar yang sangat membekas adalah ketika kami melakukan kesalahan koreksi draft kartu nama yang dipesan oleh sebuah perusahaan sepatu. Seharusnya Pabrik Sepatu "SANJAYA" (bukan nama sebenarnya) si penata huruf membuatnya menjadi Pabrik Sepatu "SEPATU", dan kami tidak menyadari kesalahan draft tersebut. Kesalahan baru disadari setelah si penata huruf sekaligus tukang cetak selesai mencetak berpuluh-puluh kotak kartu nama. Alamak!
Meskipun ayah marah besar, tetapi nasi sudah menjadi bubur dan kerugian harus ditanggung! Momen tersebut menjadi pelajaran sangat berharga, setidaknya bagi saya pribadi. Dengan membantu ayah saya mulai belajar menjadi proofreader sekaligus editor yang harus selalu teliti membaca naskah pracetak. Saat mengoreksi kami diminta untuk selalu membaca dengan bersuara sambil menunjuk kata demi kata.
Uniknya, bertahun-tahun kemudian saran tersebut saya dengar lagi dari bos ketika saya bekerja di sebuah penerbit. Ketika itu sebagai editor baru saya mendapat tugas proofreading. Untuk mengoreksi ada/tidaknya salah tik (typo) pada naskah harus dilakukan dengan mengandalkan kejelian mata. Jadi, bukan sekadar memori otak perihal susunan kata atau kalimat.
Typo kecil dalam teks panjang atau buku tebal mungkin masih bisa dimaklumi. Namun, sekecil apa pun typo jika ditemukan pada judul/subjudul, judul dan nama penulis pada kover, halaman copyright, atau bagian-bagian mencolok lain sebuah buku/media tentu menjadi sangat fatal. Kalau kesalahan pada bagian kover, mau tidak mau harus dicetak ulang. Bila terpaksa (karena masalah biaya produksi) maka typo di bagian dalam buku yang terpaksa dibiarkan berpotensi menuai malu dan merusak kredibilitas.  Â
Mesin Tik "Brother" dan Jalan Aksaraku Â
Singkat cerita, saat duduk di bangku SMP saya sudah terampil mengoperasikan mesin tik "brother", dan bisa menghasilkan uang dari pekerjaan mengetik. Namun, keterampilan tersebut tidak mendukung nilai saya dalam Pelajaran Mengetik di sekolah.
Di kelas satu sekolah menengah atas, sebelum mendapat Pelajaran Komputer kami semua wajib mengikuti Pelajaran Mengetik menggunakan mesin tik manual (merek brother atau lainnya) dengan mengikuti aturan baku.
Pelajaran Mengetik membuat saya tersiksa. Bayangkan saja, di rumah saya terbiasa mengetik skripsi dengan cepat, tetapi di sekolah saya harus belajar lagi dari nol. Kami harus mengetik sepuluh jari dengan huruf-huruf pada mesin tik ditutup lakban hitam. Â
Saya teringat betapa kami harus mengetik "asdfjkl;" atau "qwertyuiop" atau rangkaian huruf lain berlembar-lembar banyaknya. Kami harus menggunakan jari-jari yang tepat dan tidak boleh ada kesalahan. Waktu itu saya merasa seperti melakukan pekerjaan bodoh.
Keterampilan mengetik yang saya dapat tidak berdasarkan aturan baku. Alih-alih mengajari teori "Mengetik 10 Jari", ayah saya mengajari bagaimana mengetik dengan cepat, teliti, dan akurat. Boleh jadi prinsip di baliknya adalah semakin cepat selesai semakin cepat pelanggan membayarnya. Haha! Alhasil, saya pun terbiasa mengetik sepuluh jari dengan cepat, tetapi dengan posisi jari sesuka hati.
Beruntunglah guru Pelajaran Mengetik bukan hanya cantik dan lembut, tetapi juga sangat sabar. Namanya Bu Yanti.
Kemudian hari, saya tidak hanya membantu mengetik skripsi, tetapi mulai mengetik untuk menulis. Dengan mesin tik "brother" milik ayah, saya mulai berani mengirimkan sejumlah tulisan ke koran dan majalah. Lumayan juga bisa mendapat tambahan uang jajan.
Saya teringat betapa hobi korespondensi dan kegiatan mengirim tulisan ke koran/majalah menjadikan kantor pos sebagai salah satu tempat favorit. Kantor Pos Bangkong di Kota Lunpia-di perempatan bangkong (Jl. Brigjen Katamso No. 1)-adalah bangunan bersejarah dalam hidup saya.
Hobi menulis yang semakin intens membuat saya mulai bermimpi memiliki komputer. Sering timbul rasa "iri" ketika di televisi ditampilkan sosok seorang penulis yang sedang beraktivtas di depan komputer. Selalu tebersit keinginan bisa menulis dengan perangkat canggih itu. Ketika itu saya hanya bisa berkomputer ria saat Pelajaran Komputer di sekolah.
Impian memiliki komputer akhirnya menjadi kenyataan. Suatu hari kami sangat gembira ketika ayah membelikan seperangkat komputer. Komputer pertama kami berbasis DOS dan masih menggunakan disket. Monitornya menyajikan tulisan berwarna hijau/putih. Printer-nya pun masih berisik seperti suara tonggeret. Begitu pun perangkat tersebut terasa sangat hebat pada masa itu. Saya pun semakin bersemangat untuk menulis.
Walaupun sudah ada komputer kami tidak akan pernah melupakan "saudara lelaki" ayah alias mesin tik "brother". Saya sangat bersyukur karena pernah sangat akrab dengan mesin tik manual maupun komputer jadul. Jika sekarang saya asyik di jalan aksara dengan bantuan laptop atau gawai canggih dibantu jaringan internet semuanya tak lepas dari jasa ayah dan "saudara lelakinya".Â
Terima kasih Ayah! Selamat Hari Ayah 2020, Tuhan memberkati selalu!
Depok, 12 November 2020
Salam Aksara, Dwi Klarasari
Catatan: Artikel ini sedikit banyak terinspirasi dari artikel Kompasianer I Ketut Suweca yang pernah saya baca, berjudul Saya, Artikel, Kantor Pos, dan Honorarium Menulis, terutama tentang  mesin tik "brother" dan kantor pos. Terima kasih Pak Ketut. Salam hangat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H