Dari sekadar iseng dan autodidak, keterampilan saya mengetik pun semakin meningkat. Ayah juga terus-menerus mengajari cara mengerjakan pengetikan karya tulis dan skripsi secara benar. Harus telaten dan hati-hati terutama karena rata-rata pengetikan dibuat dalam rangkap 2-3. Saya cukup bangga karena bisa mengetik dengan cepat dan tepat.
Akhirnya, ayah berani memercayai kami untuk mengetik beberapa bagian naskah. Kami bersemangat jika mengetik pada bagian yang hanya berisi keterangan foto atau nomor halaman karena harganya sama dengan bagian yang berisi ratusan kalimat. Kami paling heboh saat selesai menuliskan nomor halaman dan mengeluarkan kertas dari rol mesin tik. Biasanya kami akan meneriakkan harga per lembar seperti "Dua ratus lima puluuuuh!" sambil tertawa gembira.
Begitulah! Sejak saat itu kami tidak hanya mengetahui seluk-beluk jasa pengetikan, tetapi juga kegiatan cetak-mencetak. Dalam perjalanannya, kami juga ditugaskan menjadi pengoreksi draft cetakan (proofreader) sebelum dicetak pada material final sesuai pesanan.
Tugas proofreader cukup berat karena kesalahan bisa berakibat fatal. Kesalahan terbesar yang sangat membekas adalah ketika kami melakukan kesalahan koreksi draft kartu nama yang dipesan oleh sebuah perusahaan sepatu. Seharusnya Pabrik Sepatu "SANJAYA" (bukan nama sebenarnya) si penata huruf membuatnya menjadi Pabrik Sepatu "SEPATU", dan kami tidak menyadari kesalahan draft tersebut. Kesalahan baru disadari setelah si penata huruf sekaligus tukang cetak selesai mencetak berpuluh-puluh kotak kartu nama. Alamak!
Meskipun ayah marah besar, tetapi nasi sudah menjadi bubur dan kerugian harus ditanggung! Momen tersebut menjadi pelajaran sangat berharga, setidaknya bagi saya pribadi. Dengan membantu ayah saya mulai belajar menjadi proofreader sekaligus editor yang harus selalu teliti membaca naskah pracetak. Saat mengoreksi kami diminta untuk selalu membaca dengan bersuara sambil menunjuk kata demi kata.
Uniknya, bertahun-tahun kemudian saran tersebut saya dengar lagi dari bos ketika saya bekerja di sebuah penerbit. Ketika itu sebagai editor baru saya mendapat tugas proofreading. Untuk mengoreksi ada/tidaknya salah tik (typo) pada naskah harus dilakukan dengan mengandalkan kejelian mata. Jadi, bukan sekadar memori otak perihal susunan kata atau kalimat.
Typo kecil dalam teks panjang atau buku tebal mungkin masih bisa dimaklumi. Namun, sekecil apa pun typo jika ditemukan pada judul/subjudul, judul dan nama penulis pada kover, halaman copyright, atau bagian-bagian mencolok lain sebuah buku/media tentu menjadi sangat fatal. Kalau kesalahan pada bagian kover, mau tidak mau harus dicetak ulang. Bila terpaksa (karena masalah biaya produksi) maka typo di bagian dalam buku yang terpaksa dibiarkan berpotensi menuai malu dan merusak kredibilitas.  Â