Pagi ini berlembar-lembar foto membawaku terbang
mendarat di Madiun, kota kelahiran yang slalu terkenang
Lalu melaju ke sebuah desa permai di lereng Argo Wilis
tempat kulewatkan sepotong masa penuh tawa juga tangis
Entah sudah berapa musim tak kusinggahi desa tercinta
Desa di mana leluhurku membangun keluarga
hingga menutup usia
Sejauh mata memandang terhampar pemandangan elok Â
Sawah menghijau terbelah aliran sungai berkelok
Terlindung birunya gunung-gemunung nan tegak perkasa
Pada masa pancaroba indah lukisan alam berselimut duka
Ketika pepohonan jati sepakat untuk meranggas
Daun-daun menguning dibawa angin terbang bebas
Lalu jatuh oleh gravitasi hingga berakhir masanya
Mengering memulas lantai hutan dengan satu warna
Warna suram bagi kaum marginal yang menggantungkan asa
pada hijau dedaunan jati di musim semi pembawa karunia  Â
Sementara anak-anak zaman berlarian menebar ceria
Tanpa tahu duka yang digenggam kaum dewasa Â
Aku termangu di pesisir rindu
membayangkan keindahan desa leluhurku
tempat dahulu guruku mengajarkan sebait puisi
Desa di mana raga leluhurku terbaring dalam sunyi
Sementara di surga jiwanya mendoakan kami Â
Anak cucu yang berjuang dalam peziarahan di bumi
Desaku tercinta, kelak aku 'kan datang lagi
Depok, 9 November 2020
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H