Senja mulai menyapa, biru langit pun perlahan digantikan warna oranye keemasan. Kilau mentari yang jatuh menyelinap di antara gedung-gedung tua menyuguhkan pemandangan istimewa. Begitu pun ketika cahayanya mulai meredup. Namun, kesan mistis terasa melingkupi kawasan berumur ratusan tahun yang baru selesai kami jajaki.
Entah pertanda apa, aku merasakan desir dan hawa dingin yang berbeda. Bulu kudukku menegak seperti mewaspadai hadirnya makhluk tak kasat mata. Aku buru-buru menghalau pikiran buruk tersebut, khawatir teman-teman bisa membaca ketakutan di wajahku. Bagaimanapun dalam petualangan kali ini aku yang bertindak sebagai pemandu.
Suara adzan Maghrib di kejauhan memberikan rasa tenang. Suasana kawasan yang semakin ramai juga cukup melegakan. Ya, kebetulan hari ini malam Minggu. Tidak sedikit cowok yang mengajak pacarnya untuk malam mingguan di kawasan yang terkenal horor ini. Sama-sama modus, tetapi lebih murah daripada nonton film horor di sinema.
Kami berlima duduk menggelesot dengan ekspresi kelelahan sekaligus kelaparan. Bagaimana tidak, lebih dari empat jam kami menjelajahi setiap jalan yang ada di kawasan bersejarah ini.
Sambil melepas lelah kami berembuk untuk mencari tempat makan. Namun, perbedaan selera mempersulit tercapainya kata sepakat. Sementara perut kami terus berdendang meneriakkan protes. Sesekali kami tertawa karena terdengar bunyi 'kriuuk' entah dari perut siapa.
Setengah iseng kusebut nama-nama restoran legendaris yang ada di seputar kawasan. Refleks keempat temanku melempar pandang ke arah restoran yang berlokasi di ujung jalan. Bangunan dengan paduan gaya arsitektur kolonial dan tropis itu memang paling menonjol. Sebelumnya kami sudah berkali-kali menjadikannya objek dan latar foto. Hasilnya bikin Ajeng dan Indah kegirangan. Instagramable, kata mereka.
Gelap yang mulai menyergap membuat sosok bangunan tua itu tampak semakin eksotis dilihat dari kejauhan. Lampu-lampu bercahaya kekuningan yang dipasang menegaskan deretan jendela kayu klasik di lantai dua yang dibiarkan terbuka. Meskipun temaram, pijarnya sangat kontras dengan suasana kawasan yang minim cahaya.
Aura yang terpancar dari setiap lubang jendela seakan-akan memanggil kami untuk segera mendekat. Ah, sepertinya itu hanya perasaanku saja.
Kuatnya jiwa petualang berhasil menormalkan bulu kudukku. Dengan lancar kukisahkan bahwa resto itu dulunya adalah rumah tinggal orang Belanda yang dibangun pada abad ke-19. Tatanan interiornya menghadirkan suasana khas zaman kolonial, lebih dari 200 tahun lampau.
Sayangnya, restoran tersebut memang relatif mahal. Kebanyakan orang di kota ini menyebutnya resto level wisman 'wisatawan manca'. Bila berkali-kali aku bisa duduk di kursi antiknya dan menikmati menu lezatnya, itu karena aku mengantar para bule wisman.