Begitulah dunia kerja ternyata juga memberi saya nama baru. Setelah sempat merantau ke luar pulau, mendaratlah saya di Jakarta. Di kantor di mana saya diterima bekerja, pimpinan bertanya, 'Siapa nama panggilanmu?' dan saya jawab 'Dwi, Pak!'
Seingat saya almarhum bos saya dulu geleng-geleng kepala pertanda kurang berkenan. Lho, kenapa tidak berkenan?
'Kemarin ada karyawan baru juga bernama Dwi. Kamu pakai nama lain saja' begitu kata bos. Kemudian bos menanyakan nama baptis saya. Ketika saya sebutkan, beliau masih juga geleng-geleng sembari melihat kembali CV saya. 'Di bawah sudah ada bagian administrasi bernama seperti itu! Sudah, kamu saya panggil Klara saja!' Sekejap saya pun terpana!
Gapapa juga sih, itu memang bagian dari nama belakang saya. Kebetulan rumah sakit tempat saya lahir juga bernama St. Klara. Begitu pun saya tetap merasa canggung. Mendapat nama panggilan baru di usia lebih dari seperempat abad sama sekali berbeda dengan mendapat hadiah baju baru. Walaupun dalam hati ingin protes, tetapi sebagai karyawan baru saya akhirnya menurut. Saya anggap itu sebagai perintah pertama bos.
Jadilah teman-teman sekantor memanggil saya Klara. Satu hal yang tidak pernah saya bayangkan adalah dampak jejaring pertemanan dan pekerjaan. Di wilayah Jabodetabek saya pun dikenal (hanya yang kenal saya, tentu saja!) dengan nama baru tersebut. Klara atau Kla.
Seperti sudah saya duga, banyak teman lama melayangkan protes. 'Alamak, banyak kali gaya kau, pindah ke Jakarta lalu kauganti nama jadi Klara. Bah, macam artis saja kutengok!' Demikian salah satu komplain dari seorang sahabat!
Karena menceritakan latar belakang munculnya nama tersebut akan menghabiskan banyak waktu (dan pulsa) maka saya pun hanya berujar santai, 'Maaf, sengaja ganti nama, aku sedang dikejar-kejar debt collector!' Si kawan pun terbahak-bahak di ujung telepon.
Protes dari sahabat karib yang lain bahkan lebih sadis. Saat reunian seorang teman berkata, 'Maaf ya, kalau mendengar nama Klara yang terbayang itu gadis cantik lemah gemulai. Nah, kenapa yang keluar tomboi macam begini ya?' Kami pun tertawa sampai perut terasa sakit. Â
Belum tahu si kawani ini! Sahabat pena saya yang orang bule bahkan lebih suka memanggil saya Claire. Konon lebih mudah dilafalkan karena seperti nama orang-orang di kampung mereka! Keren, euy!Â
Selanjutnya karena bertemu banyak anak kecil yang cadel, nama Klara pun memiliki banyak padanan, ada yang panggil Ante Awa, Tante Kelaya, dan lain-lain. Ah, pucing pala belbi!
Mungkin teman-teman akan menyebut saya orang aneh karena entah mengapa saya menyukai semua nama panggilan tersebut. Tentu saja karena saya berpikir bahwa nama-nama tersebut diberikan dengan rasa sayang tanpa didasari niat buruk.