Artikel ini sebenarnya penulisan ulang dari catatan kecil yang pernah saya buat di media sosial facebook dengan perbaikan di sana sini dan tambahan sejumlah referensi. Tetiba saya ingin membagikannya karena hari-hari belakangan ini saya mendapat pertanyaan terkait nama panggilan. Di lain sisi, saya juga mendapati diri saya ragu dalam memberikan sapaan yang tepat kepada orang-orang yang baru saya kenal. Ada rasa khawatir bila yang bersangkutan kurang berkenan. Sementara sebagian orang mempersilakan saya memilih sendiri nama-nama panggilan untuk mereka.
Semoga tulisan receh ini dapat memberikan inspirasi. Setidaknya menambah perbendaharaan cerita bahwa lahirnya nama panggilan seseorang bukan saja atas keinginannya tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi sosial-budaya. Belum lagi kalau dia seorang penulis atau seniman yang acap kali memiliki nama alias, nama panggung, atau nama pena. Â Â Â
Baiklah, izinkan saya mengawali kisah dari percakapan virtual pada suatu pagi cerah.
Lewat pesan singkat, pagi itu saya pamer kepada seorang kawan 'Aku sarapan roti bakar nih, maklum bule!' Alih-alih setuju, si kawan malah menjawab 'Bule kok namanya Dwi'. Sontak saya tertawa menanggapi kebenaran komentar si kawan. Eit, jangan sedih dulu! Saya juga punya nama bule kok, yaitu "Claire". Keren, kan?
Sebenarnya saya memiliki banyak nickname 'nama panggilan kesayangan'. Mulai dari yang keren macam Claire sampai yang enggak banget, seperti Bejo, Limbuk, dan sebagainya. Akhirnya, sambil menikmati roti bakar dan menyeruput kopi, saya pun menuliskan tentang seluk-beluk nama panggilan tersebut. Â
Nama lengkap saya xxxxx xxxxxxxxx xxx xxxxxxxxxxx xxxxxxxxx, terdiri dari 37 huruf, 5 kata dan 16 suku kata. Menurut orang-orang nama tersebut panjang seperti rangkaian kereta. Wah cocok sekali! Kebetulan sejak kecil saya paling suka naik kereta api.
"Ning" adalah potongan nama tengah saya yang menjadi panggilan sayang dalam keluarga. Oya, nama itu juga menjadi panggilan sayang dari teman-teman sepermainan di Gang Beruang-tempat tinggal masa kecil saya di Kota Lumpia. Nama itu juga diteriakkan oleh teman-teman di lingkungan gereja.
Dahulu, bila anak-anak Gang Beruang bertengkar, terbentuklah geng-geng kecil. Setiap geng akan menciptakan dan/atau menyanyikan lagu ejekan untuk anggota geng "lawan".
Ning nong ning gung pak bayan, sega jagung ora doyan. Iwak pitik duh enake, kepruk dingklik aduh Mak'e!Â
Lagu berbahasa Jawa itu menjadi lagu spesial untuk "mengejek" saya. Beruntung ketika itu saya masih belum kenal istilah baper.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!