Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali Bebas (Bagian 2 - Tamat)

6 Oktober 2020   10:14 Diperbarui: 6 Oktober 2020   11:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Franz W -- pixabay.com (dengan perubahan warna)

Gelombang air yang sangat kuat menyeretku, tepatnya menyeret aku dan Mbok Nah. Luar biasa! Kami terseret bersama rumah megah yang selama ini menjadi penjara bagiku. Tubuhku terombang-ambing dalam air lumpur yang bergulung-gulung menyambar apa pun.

Beginilah rupanya yang dinamai banjir bandang! Bisa kupastikan banjir ini datang dari hulu sungai di mana kampungku berada, di mana terbentang onggokan perbukitan gundul sejauh mata memandang. 

Apakah ini balasan atas kejahatan Prawiro dan kroninya? Balasan oleh tanah dari mana aku dan kawan-kawanku terenggut. Inikah bantuan semesta atas balas yang tak mampu kami lakukan?

Tidak! Bukan! Balas dendam bukanlah perangai alam semesta. Tolong, dengar pendapatku! Bagi alam, kata 'balas dendam' teramat merendahkan. Alam senantiasa memberi tanpa pernah meminta kembali. Banjir ini bukan sebuah balas dendam.

Tanah di mana aku pernah berpijak hanya tidak sanggup lagi menampung guyuran air yang sangat berlimpah. Perbukitan gundul tanpa pepohonan berakar kuat laksana sosok kekar yang sebenarnya rapuh.

Lama sekali aku dan Mbok Nah terombang-ambing dalam air bah yang semakin melemah. Getaran benda-benda yang saling bertabrakan telah berkurang. Jerit tangis serta teriak minta tolong pun nyaris tak lagi terdengar.

Senyap melengkapi kelam yang sangat pekat. Gelap membuatku tak tahu arah. Satu saja yang kutahu, yaitu tubuh lemah Mbok Nah perlahan terdampar di atas badanku. Tangannya sangat erat mencengkeram tepian tubuhku. 

***

Tubuhku terdampar di bantaran sungai. Kanan-kiri penuh segala macam benda. Berpuluh kayu log melintang di sana-sini. Puluhan jasad bergelimang kaku mengenaskan. Meski aroma kesedihan membalut kuat, pagi ini biru langit dan sinar matahari terlihat bersahabat. Keduanya menyadarkan aku di mana kami berada.

Kini aku berada di alam terbuka, tidak lagi tersandera di ruang bundar rumah Prawiro. Aku kembali bebas! Bebas menyapa mentari yang lama kurindui. Bebas menikmati keindahan yang kukira takkan kutemui lagi. Ganas gelombang telah membebaskan aku dari neraka, tempat tinggal manusia durhaka. Meski aku tak lagi sempurna, kebebasan ini tetaplah sebuah kebahagiaan. 

"Bu... Bu... Ibu bisa mendengar kami?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun