Silakan baca kisah sebelumnya: "Merindu Abimanyu (Bagian 1)"
PAGI BELUM LAGI TERANGÂ dan udara pun masih sangat lembab. Halimun menghalangi pandangan serta menyelimuti rumahku yang belum terbuka.Â
Kuamati pohon kamboja di sudut halaman. Pucuk batangnya melengkung karena sarat oleh bunga. Di bawah kamboja terdapat kandang ayam kate. Sepertinya tempat itu memang sangat pas untuk piaraan Abi tersebut.
Di sisi lain halaman berdiri tegak pohon kiara payung. Batangnya dibalut aneka anggrek dan sirih belanda berdaun selebar talam. Tanaman sutera bombay rimbun menutup tanah yang melingkari dasar pohon. Bunganya belum lagi mekar karena masih terlalu pagi. Biasanya menunggu mentari meninggi sekitar pukul sembilan atau sepuluh.
Tiba-tiba guguran daun kiara payung menarik perhatianku. Daun berwarna kecokelatan serupa batang es krim itu membawa ingatanku kepada Abi. Bukan karena Abi menyukai es berbahan susu itu, tetapi karena dahulu ia selalu enggan jika kuminta bantuan membersihkan dedaunan kering tersebut.
Â
'Kenapa tidak kita biarkan saja menjadi humus, sih?', begitu Abi selalu menggerutu bila kuminta menyapu halaman.Â
Â
Lalu kujelaskan panjang lebar bahwa memang begitulah rencanaku. Hanya saja, dedaunan itu harus dikumpulkan dulu di satu tempat, yaitu lubang yang dibuat Mang Sapto. Nanti secara bertahap akan ditimbun dengan tanah, lapis demi lapis. Jadi, selain mendapatkan humus halaman kebun juga terlihat tetap bersih. Namun sejelas apa pun kuuraikan rencana dan maksudku, Abi tetap saja menolak sapu yang kusodorkan.
Â
'Oh my God! Tidakkah aku terlihat aneh, Bun? Apa nanti kata para gadis jika melihat pria tampan menyapu terbungkuk-bungkuk?' Sederet kalimat itulah yang selalu menjadi senjatanya. Biasanya aku hanya tersenyum.Â
Â
Kalau aku memaksanya maka akan keluar argumen-argumennya yang membuatku tercengang. 'Coba saja ada sapu bergagang panjang! Dengannya aku pasti terlihat sebagai lelaki gentle yang sedang membantu merawat kebun, bukan seperti cowok pingitan yang dipaksa menyapu.'Â
Â
Pada akhirnya Abi tak lagi bisa menolak permintaanku ketika suatu hari kubeli sapu lidi seperti yang dipakai tukang kebun. Sapu lidi bertangkai panjang seperti impiannya. Abi menerimanya dengan ekspresi kekalahan yang mendalam, namun penuh sportivitas.Â
Â
Dengan senyum tulus ia berjanji akan membantuku menyapu. Setidaknya dua hari sekali lantai halamanku yang terbuat dari rumput gajah itu akan tampak bersih dan berwarna hijau segar. Â
Seiring terbitnya sang mentari, kabut pagi tampak mulai menipis. Rumahku pun perlahan-lahan mulai terlihat lebih jelas. Namun kencangnya angin menggugurkan semakin banyak daun kering. Andai saja Abi segera keluar untuk membersihkannya. Aku memendam asa.
Aku tahu Abimanyu sudah kembali ke rumah. Maksudku, aku tahu bahwa perjuangan pengacaraku sudah tuntas. Ia berhasil menemukan dan membawa Abi pulang ke rumahku. Aku pun sempat melihat Mbok Mi sibuk membereskan ini-itu untuk menyambut kepulangan Abi.
Namun, sudah hari ketiga sejak kepulangannya Abi belum juga keluar dari kamar. Aku sendiri tidak berani mendekat. Aku terlalu pengecut untuk melihat reaksinya menghadapi situasi ini. Sebenarnya apa yang sedang dilakukannya di kamar? Marahkah Abi? Ataukah ia menyesal? Barangkali tidak seperti harapanku.
Dari bawah kamboja aku mengamati jendela kamar Abi. Tiba-tiba kulihat jendela tersebut terbuka lebar. Pastilah Abi yang membukanya.
Benar juga! Tak lama kemudian kulihat sosok Abi menegas terbingkai kosen jendela. Lama ia melempar pandang dan menerawang ke seluruh bagian halaman. Oh! Terkejutkah ia mendapati lantai halaman yang nyaris rata tertutup dedaunan kering? Tidakkah ia berniat menyapunya? Tahukah ia betapa halaman ini merindukan sentuhannya?
Sekonyong-konyong sosoknya berbalik, lalu lenyap ditelan kegelapan ruang dalam. Mungkin ia bermaksud keluar rumah, harapku cemas. Namun, hingga lebih dari sepuluh menit ia tak kunjung keluar. Pupus sudah kesabaranku. Bergegas kudekati kamar Abi untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sampai di kamarnya kulihat Abi tertunduk lesu di ujung ranjang.
Meskipun bisa mendekat tanpa harus mengusiknya, aku lebih suka memandanginya dari kejauhan. Kuamati raut wajahnya lekat-lekat. Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya? Dalam kelesuan pun, ia terlihat semakin tampan. Kulit bersihnya sangat kontras dengan rambut tebalnya yang hitam pekat.
Umpama kami masih bersama, tentu aku terlihat sangat pantas sebagai ibunya. Puluhan uban di kepalaku sudah berebut untuk menampakkan diri karena aku enggan menyemirnya. Aku bersyukur, Abimanyu tumbuh sebagai pria tampan dan hebat.Â
Tunggu! Abimanyu memakai syal kesayanganku. Oh, apa yang terjadi? Sakitkah Abimanyu? Mungkinkah ia hanya berniat menangkal angin pagi yang masih terlalu dingin? Mungkinkah ia sangat merindukan aku hingga memakai syalku?
Ya, syal merah marun di lehernya itu milikku yang adalah pemberiannya.
Abi memberikan syal berwarna marun itu bertepatan dengan ulang tahunku ketiga puluh lima. Syal itulah satu-satunya hadiah yang pernah diberikan Abi untukku. Syal berbahan rajut itu dibelinya setelah dua lukisannya terjual dalam pameran perdananya. Â Â
'Terimalah syal ini sebagai tanda hormat dan sayangku. Terima kasih karena Anda telah mengizinkan saya melukis. Jangan khawatir, saya pun akan menjadi dokter hebat seperti yang Anda harapkan!' Demikian ucapan Abi waktu itu dengan lagak jemawa. Seraya terus mengoceh dan menebar senyum ia mengalungkan syal ke leherku. Terakhir ia mengecup keningku dengan takzim.Â
Â
Ah, Abimanyu selalu piawai membuatku tertawa dalam haru. Â Â
Â
Dahulu, aku memakai syal itu ke mana pun pergi. Aku juga memakainya untuk melepas kerinduanku bila Abi ke luar kota untuk mengikuti pameran. Entah mengapa selalu ada keharuan setiap kupakai syal pemberiannya.Â
Â
Bisa saja aku tiba-tiba berurai air mata. Jika kudengar pintu pagar dibuka dan kukira itu Abi, buru-buru kuhapus air mataku. Pantang bagiku menunjukkan kelemahan di depannya. Aku selalu ingin Abi mengenalku sebagai wanita tegar.Â
Â
Jika ternyata yang datang adalah Mbok Mi, kubiarkan saja air mataku meleleh mengikuti hukum gravitasi. Bagaimanapun Mbok Mi terlanjur sering memergoki aku menangis. Wanita enam puluhan itu telah kuanggap sebagai ibuku semenjak ia datang membantuku mengurus rumah. Selain Abi, dialah satu-satunya keluargaku.
Aku kembali memandangi Abimanyu. Dari jarak sedepa dapat kucium harum aroma tubuhnya. Pakaiannya cerah, licin, dan sepertinya sangat lembut. Aku selalu bertanya-tanya apakah ia juga rajin mencuci dan menyetrika bajunya saat dulu tinggal sendiri.
Abi sungguh berbeda dibandingkan saat pertama kami berjumpa.
Seperti pernah kuceritakan, aku bertemu Abi di jalanan kompleks tempat tinggalku. Awalnya kami hanya saling melempar pandang. Oya, lupa kukatakan, waktu itu usia Abi sekitar empat atau lima tahun.
Entah dari mana ia datang. Ketika itu ia terlihat kumal dan bau. Seingatku, aku selalu mual setiap kali ia meraih dan menciumi punggung tanganku. Begitu pun saat ia mulai bergelayut di tanganku dan tak mau dilepaskan sebelum kucium keningnya.
Dalam perjalanan ke kantor tak henti kuusapkan hand sanitizer ke tanganku. Jika belum terlambat tiba di kantor aku pasti akan mencuci lagi tanganku dengan sabun. Lagi dan lagi.
Saat akhirnya kubawa ia di rumahku, segera saja kuubah tampilannya. Kuminta salon langgananku mencuci dan memangkas rambutnya. Kumandikan ia dengan dua kali bersabun. Kukenakan satu dari lusinan kaos dan celana baru yang kubeli. Setiap hari aku dan Mbok Mi berjuang keras mengajarkan norma-norma kebersihan dan memberikan contoh hidup sehat. Â Â
'Jika tiap hari syal ini Bunda pakai, lalu kapan dicuci? Ah, pasti syal ini sudah bau!' Begitu keluhnya kalau memergoki aku terus-menerus memakai syal pemberiannya. 'Nanti kubelikan satu lagi deh', begitu janjinya kala itu. Aku tersenyum karena ternyata perjuanganku dan Mbok Mi mendidiknya tidak sia-sia.
Begitulah Abi. Selain patuh dan mudah beradaptasi, ia tak segan mengekspresikan rasa sayangnya. Namun sangat berbeda bila ia kecewa atau marah. Ia hanya menyingkir dan diam seribu bahasa. Ia memilih pergi jauh atau menyendiri dan menumpahkan perasaannya pada lembaran kanvas. Sungguh menyesal aku tak pernah bisa memahami sifatnya yang satu itu.
Sementara, penyesalan terdalamku adalah membuat Abi kecewa mendengar percakapanku dengan Mas Yoga.
Sore itu aku tidak mengetahui bahwa Abi ada di rumah. Mas Yoga yang berjanji hendak menikahiku datang dengan rasa gamang. Lelaki yang kukira menyayangi Abi seperti anak sendiri, ternyata tak berniat menjadi ayahnya.
Kendati bersikap memohon, sangat jelas jika Mas Yoga ingin aku melepaskan Abi. Boleh jadi itu bukan kemauannya. Darah biru memang sering kali membuat seseorang kesulitan bicara atas namanya sendiri. Cinta Mas Yoga kepadaku juga tak sebesar keterikatannya pada keluarga ningratnya.
Ketika itu aku pun terpuruk dalam dejavu. Sekali lagi aku dihadapkan pada dua pilihan seperti saat kubawa Abi kecil menemui keluargaku tiga belas tahun silam. Maka terjadilah bukan seperti yang kuimpikan.
Pada usia ketiga puluh tujuh kulepaskan rencana pernikahanku demi seorang Abimanyu. Namun sungguh memilukan, pada saat yang sama aku pun kehilangan Abimanyu.
'Tadi Mas Abi buru-buru pergi sambil menggendong ransel gunungnya itu. Waktu berpamitan saya iyakan saja karena saya sibuk dengan masakan di dapur.' Demikian Mbok Mi memberi penjelasan dengan raut sesal.
Abi bahkan meninggalkan ponsel yang kuberikan sebagai hadiah kelulusan. Abi benar-benar pergi! Kenapa? Ketika itu aku tersentak hebat. Hingga tengah malam aku tak berhenti meraung sambil menciumi bajunya.
Entah bagaimana, saat bangun aku sudah terbaring di ruang putih dengan banyak selang di tubuhku. Bagian tubuh yang bisa kugerakkan hanyalah ujung-ujung jemariku. Lama aku berupaya memahami ruang dan waktu. Kulihat seorang ibu yang sudah sepuh duduk lesu di sudut kamar. Wajah kuyu dengan mata sembab seketika berubah semringah saat melihatku memandanginya.
'Matur sembah nuwun Gusti, syukurlah Ibu sudah bangun!' Begitu teriakan Mbok Mi seraya mendekat lalu memelukku kuat-kuat. 'Sudah seminggu lebih Ibu tidak sadar', demikian Mbok Mi menjelaskan. Ketika itu aku tak paham apa pun yang dikatakannya.
Hari demi hari aku berusaha keras mengingat semua. Setelah dua purnama, barulah kukenali kembali Mbok Mi dan Nana, pengacara sekaligus sahabatku. Satu per satu kenangan membanjiri ingatanku. Lantas, aku pun mulai merindukan Abimanyu.
Â
Walaupun semua selang telah dilepas dan aku boleh pulang, tetapi sesungguhnya aku belum pulih. Di kamar aku hanya terbaring tak berdaya. Mbok Mi merawatku dengan sabar dan tekun. Sesekali perawat dari rumah sakit datang melakukan terapi. Sementara Nana mengurus segala hal untukku sekaligus berusaha menemukan Abi.
Merindukan Abi membuat waktu berjalan sangat lambat. Rasanya sudah bertahun-tahun aku terbaring di ranjang. Nyatanya pancaroba baru saja menghampiri untuk menghalau bulan-bulan basah seraya menyapa musim kemarau.
Aku merindu Abimanyu siang malam tanpa jeda. Gagasan Mbok Mi menghangatkan dinding kamarku dengan foto-foto Abi justru semakin menguatkan rasa rindu sekaligus menambah laraku. Setiap pagi kubayangkan Abi akan segera pulang, tetapi hingga rembang petang tak juga kudapati sosoknya.
Abimanyu seperti lenyap ditelan waktu. Belakangan hari aku bermimpi hidupku tak akan lama. Kondisiku memang tak kunjung membaik. Komplikasi pascastroke semakin hebat. Diabetes bawaan menurunkan harapan untuk bisa menanti Abi lebih lama lagi.
Kuminta Nana melegalkan wasiatku menyerahkan rumah ke tangan Mbok Mi sampai Abi kembali. Nana juga yang kuminta mengatur pencairan dana rumah tangga setiap bulan dan memberikannya kepada Mbok Mi. Meskipun berbeda jalan cerita, Mbok Mi dan aku sama-sama sebatang kara.
Â
'Tinggallah di sini Mbok, tolong rawat rumah ini.' Itulah yang kukatakan lewat tulisan tangan yang masih berantakan. Saat itu, lidah masih kaku belum sanggup berkata-kata. Dengan linangan air mata Mbok Mi mengangguk sepenuh hati.
Kalau Abi pulang, jagai seperti anak Mbok sendiri! Dan tolong berikan ini. Begitu kuakhiri pinta seraya mengangsurkan surat untuk Abi yang kutulis kata demi kata selama berminggu-minggu.
Silakan lanjut ke "Merindu Abimanyu (Bagian Akhir)" Â
Depok, 5 September 2020
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H