AWALNYA WAJAH TAMPAN ITUÂ hanya menatapku setiap kali kami bertemu pandang. Kemudian, ia mulai melambai dan melempar senyum. Kubalas dengan senyuman basa-basi. Namun, sungguh aku menyesal! Kurasa ia masih sangat lugu dan belum mengenal kepura-puraan dunia.
Mengira aku menyukainya ia semakin nekat. Hari berikutnya ia bahkan mendekat dan menghadang langkahku. Aku terhenti oleh bening bola matanya yang menyihir dan tak mampu kulawan. Meskipun dengan sedikit bersusah payah karena selalu kutepiskan, ia berhasil meraih tanganku. Dalam sekejap ia sudah mengecupnya. Cukup lama hingga membuatku jengah.
Hebatnya, belum genap sepuluh jariku menghitung pagi demi pagi ajaib itu, ia sudah berani menggelayuti lenganku. Ia tak akan melepasnya sebelum kuberikan ciuman selamat pagi. Entah bagaimana, tanpa sadar perjumpaan dengannya menjadi rutinitas pagiku.
Bukan rutinitas baru yang mengusikku. Namun fakta bahwa ternyata aku telah kecanduan dengan rutinitas itu! Kerinduan menyelami sorot matanya serta memeluknya sudah berubah menjadi kesukaan. Tubuhku tak bisa berbohong.
Hari-hari selanjutnya kedua mataku sudah terjaga sebelum kokok ayam pertama. Keduanya tak mau lagi terpejam, bahkan seperti menghardik bagian lain tubuhku untuk bergegas. Mbok Mi terheran-heran saat mendapati aku siap meninggalkan rumah satu jam lebih awal.
Kenapa aku harus berangkat lebih pagi? Tentu supaya bisa berlama-lama dengannya, tetapi tidak ditolak oleh mesin presensi di kantor. Oh, rasanya aku hampir gila bila sehari saja pagiku terlewat tanpanya. Sepanjang hari benakku hanya akan dipenuhi pertanyaan 'ke mana dia, sakitkah dia, atau apakah dia baik-baik saja'.Â
***
Begitulah kronologi kedekatanku dengan Abimanyu, sosok yang kemudian selalu kurindukan. Kendati demikian, kumohon jangan pinta aku untuk menjelaskan bagaimana mula terikatnya perasaanku padanya. Sangat sulit untuk menjawabnya secara tepat. Lebih mudah bagiku bila disodorkan soal-soal aljabar yang paling rumit sekalipun.
Sungguh, tanpa kusadari perasaanku padanya menghampiri dan mengikatku begitu saja. Otakku yang terkenal penuh logika seolah tidak ambil bagian dalam proses tersebut. Seingatku, kali pertama melihatnya aku bahkan begitu kesal.
Seperti sudah kuceritakan, balasan lambaian tangan dan senyuman yang kuberikan hanya basa-basi. Ketika itu aku hanya berniat jaim, menjaga harga diri. Bagaimanapun di lingkungan tempat tinggalku, aku dikenal sebagai gadis yang ramah dan penyayang.
Sekali lagi kukatakan, perkembangan dari lambaian hingga mendalamnya perasaanku sungguh tak bisa kujelaskan. Bagaimana jika kubilang saja bahwa ada kekuasaan lebih besar yang mengatur perjumpaan tersebut? Seperti ada tangan yang mengikatkan aku sangat kuat kepadanya hingga tak mungkin kulepaskan! Aku percaya itu Kuasa Ilahi.
***
Kelak aku bahkan mengorbankan seluruh hidupku demi Abimanyu. Gelar keningratan pun rela kulepaskan demi mempertahankannya sebagai milikku. Izinkan aku mengisahkannya sebentar.
Semua berawal saat aku membawa Abimanyu pulang untuk kukenalkan kepada bapak dan ibuku. Hari itu adalah kali pertama Abi menginjak kota kelahiranku, tanah nenek moyangku. Namun, tak pernah kusangka bahwa hari itu sekaligus menjadi hari terakhirnya di sana.
Adzan subuh belum lagi terdengar sewaktu kami tiba di stasiun. Daripada mengganggu orang tuaku dengan kedatangan yang teramat pagi, aku membawa Abi berkeliling kota. Dengan taksi kami mengunjungi beberapa tempat yang meninggalkan kenangan indah dari masa kanak-kanakku.
Mula-mula kami duduk di alun-alun kota-tempat di mana aku kerap menghabiskan sore. Sembari kuceritakan segala hal yang kulakukan saat kecil, kami menikmati bubur sumsum sebagai sarapan. Kami meninggalkan alun-alun setelah matahari menyingsing. Kuminta sopir taksi melewati setiap jalan di mana dahulu aku bersekolahku, dari TK sampai SMA.
Saat melihat serombongan bebek di saluran irigasi Abi mengajakku berhenti. Kami pun lalu asyik melempari unggas  itu dengan remah-remah roti. Setelah puas barulah kami beranjak ke rumah keluargaku.
Kejutan indah yang ingin kuberikan pada kedua orang tuaku justru membuatku tergoncang. Saat pintu terbuka lebar, tidak ada pelukan hangat yang kuharapkan. Kami justru disambut dengan tatapan sedih bapak, ibu, dan dua kangmasku. Tak satu pun di antara mereka menyuguhkan senyuman selamat datang. Tidak juga ibu yang biasanya sangat bijak.
Semestinya situasi demikian sejak awal sudah bisa kuduga. Aku saja yang terus terbuai mimpi indah. Aku mengira bila surat-surat yang selama ini kukirimkan tak dapat melumerkan hati keluargaku, sebuah pertemuan tentu mampu meluluhkan hati mereka. Kusangka mereka pun akan segera jatuh hati sesaat setelah berjumpa seperti halnya diriku yang tak bisa berpaling saat bersiborok dengan bening bola mata Abimanyu.
Bagaimana kenyataannya?
Ketika itulah aku sadar telah tertipu utopia semu yang ditawarkan novel-novel yang berujung bahagia. Nyatanya, ada bagian dunia ini yang menuntut kesempurnaan untuk sepotong cinta
Belum sempat kuperkenalkan pada Abimanyu, bapak sudah menyeretku ke dalam kamar. 'Tentukan satu dari dua pilihan yang sudah Bapak berikan!' Begitulah vonis yang terlontar penuh arogansi. Bahkan tak sedikit pun bapak berniat menilik perasaanku.
Sesaat aku tercenung. Lantas mulai kutimbang-timbang manakah lebih berat, cinta pada Abimanyu atau pada keluargaku. Tak banyak waktu untukku. Sebelum rembang petang memeluk bumi, keluarga besarku telah berkumpul di pendopo. Luar biasa!
Mereka pun hanya membutuhkan tak kurang dari setengah jam untuk mencapai kata sepakat. Tragisnya, tak satu pun anggota keluarga bersedia menerima Abimanyu.Â
'Mana mungkin mengizinkan seseorang yang datang dari jalanan masuk dalam trah keluarga kita? Tanpa mengetahui asal-usulnya sama artinya kita hendak mencoreng nama baik para leluhur!'Â
Maklumat sesepuh keluarga seakan tak terbantah. Semua yang hadir tunduk takzim. Menentang berarti menyusahkan diri serta membahayakan masa depan. 'Andai aku tidak senaif ini!' begitu pikirku kala itu. Jika sedari mula kusembunyikan saja asal-usul Abimanyu, mungkin akan berbeda kisahnya.
Entah kebodohan apa yang sudah kubuat. Sedikit pun tiada terbit was-was bila namaku lenyap dari silsilah keluarga. Kala itu, aku hanya ingin mempertahankan Abi. Bahkan tak terpikir bagaimana masa depanku kelak.
Rasa sayangku pada Abi tak bisa kusembunyikan apalagi kuingkari. Keinginan untuk menjadikannya sebagai bagian hidupku telah kupikirkan masak-masak. Keputusanku sudah bulat. Aku tidak memerlukan tambahan waktu sedetik pun untuk memastikannya.
Akhirnya, kuucapkan selamat tinggal kepada segenap roman ningrat yang mengulas senyum arogan di pendopo. Malam itu juga aku dan Abi berpamitan dan kembali ke ibukota.
Selanjutnya, terjadilah bukan seperti yang kuimpikan semenjak kecil. Pada usia kedua puluh empat, aku mengubur gelar keningratanku dan melepaskan seluruh keluargaku untuk seorang Abimanyu.
Bagaimanapun, hidupku terus berlanjut.
***
Bersambung ke "Merindu Abimanyu (Bagian 2)"
Depok, 4 September 2020
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H