Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hidup di Kesempatan Kedua

21 Agustus 2020   22:52 Diperbarui: 21 Agustus 2020   22:48 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah mulai kapan aku lupa, tetapi gadis penjaga rumah oma tak lagi tergesa-gesa menyiram taman mungil di mana kami masih teronggok. Ia bahkan menyiram kami dua kali sehari, pagi dan sore karena seharian ia ada di rumah. Belakangan kami tahu alasannya. Burung-burung gereja yang mampir bercerita bahwa pemerintah menghimbau agar masyarakat belajar dan bekerja dari rumah; ibadah juga di rumah.   

Keberadaan si gadis di rumah oma menguntungkan kami penghuni taman. Selain tak lagi buru-buru, si gadis sesekali menunjukkan kasihnya. Ia mengobrol dengan para tetua kami dan pepohonan lain. Sering kali ia bahkan bersenandung atau menyanyikan lagu nostalgia seraya menciumi kelopak Cattleya. 'Bila anggrek mulai kembang, aku ingat padamu', demikian sebaris liriknya.

Pada suatu pagi cerah, si gadis datang ke taman dengan peralatan berkebun. Singkat cerita ia mulai membereskan taman mungil yang berantakan saat ditinggalkan oma. Tanpa disangka-sangka si gadis memunguti dan memasukkan kami ke dalam pot kecil koleksi oma.

Seraya menata batang-batang yang mulai bertunas si gadis berucap, "Akibat Corona, satu demi satu kawanku berpulang tanpa sempat kusapa. Aku bahkan tak bisa mengantar ke peristirahatan terakhir mereka. Tak dapat berbuat apa pun selain mendaraskan doa tanpa suara. Jadi, biarlah aku berbuat sesuatu untuk makhluk hidup yang terdekat denganku. Kalian pun punya hak atas kehidupan. Jadi, aku akan merawat kalian Dendrobium Baruna."

Kami sungguh tak mampu berkata-kata. Kami bersyukur tak jadi mati sia-sia. Kami mafhum bahwa sebagai makhluk ciptaan-Nya kita tak dapat mengetahui batas hidup ini. Nyatanya, lewat sentuhan kasih si gadis kami masih dapat hidup hingga hari ini. Tuhan memberikan kesempatan kedua.

Jika dihitung menurut kasus pertama Covid-19 di Indonesia maka usia kami sekitar 170 hari. Semoga kami boleh hidup subur, berbunga, dan mewarnai dunia. Karena menjadi berkat bagi yang lain, itulah arti hidup yang sebenar-benarnya.    

Depok, 21 Agustus 2020

Salam Literasi, Dwi Klarasari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun