Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hidup di Kesempatan Kedua

21 Agustus 2020   22:52 Diperbarui: 21 Agustus 2020   22:48 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hai kawan, lihatlah foto di atas! Kami yang berimpitan dalam pot hitam kecil itu adalah Dendrobium Baruna bersaudara. Kami bagian dari keluarga Orchidaceae. Kami ingin bercerita mengenai kisah hidup di balik foto sederhana tersebut, dan teman-teman sepakat memilihku sebagai juru bicara. Aku dalam foto itu yang tampak berakar panjang.  

Sekali lagi kuperkenalkan, nama kami Dendrobium Baruna. Nama yang keren, ya? Usia kami kira-kira sama dengan umur virus Corona pertama yang terdeteksi di bumi Nusantara. Bila ditanya perihal usia sekejap ingatanku akan melayang kembali pada bulan-bulan di mana kami hanyalah batang-batang layu yang teronggok di pelataran taman dan nyaris mati.

Masih terkenang dalam benak, ketika si oma pemilik rumah sibuk menata ulang tamannya, di mana kami tinggal. Oma pencinta tanaman itu memisahkan kami dari rimbunnya induk-induk kami. Mungkin si oma ingin menguji kedewasaan kami untuk hidup mandiri terpisah dari para tetua. Ketika itu rasanya kami pun telah siap untuk hidup mandiri.

Belum sempat membuat rumah baru untuk kami, tiba-tiba si oma pergi begitu saja. Konon, si oma menerima berita duka dari pulau seberang. Saudara kandungnya yang tercinta berpulang kepada Sang Ilahi. Apa mau dikata kami pun terlunta-lunta di pelataran taman. Setiap hari terpapar terik matahari dari pagi hingga petang menjelang. Tanpa tetes air kehidupan kami mengalami dehidrasi.

Hari demi hari berlalu dan kami mulai diserang layu. Setiap kali berhembus angin berkabar bahwasannya belum ada cukup awan untuk hadirkan hujan. Rasanya kami tak sanggup lagi bertahan hidup. Mungkin inilah yang dinamakan takdir. Kami harus ikhlas menyambut datangnya kematian yang entah kapan.

Namun, suatu hari datang seorang gadis di rumah oma. Setiap pagi ia selalu menyirami seluruh taman, tetapi dengan langkah tergesa-gesa. Ia seolah-olah bahkan tak melihat kami yang teronggok tak berdaya. Ah, mungkin saja ia harus segera mengejar kereta untuk bekerja di ibukota, seperti kebanyakan anak muda.

Tak mengapa! Kami bersyukur karena sejak hari itu bisa merasakan segarnya percikan air. Perlahan-lahan semangat hidup kami pun mulai bangkit. Agaknya Tuhan masih berkenan memberi kami kesempatan untuk menjalani kehidupan. Dalam pepatah, manusia menyebut ini kesempatan kedua. Kesempatan kedua adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi diri serta membuat resolusi.

Suatu hari burung-burung gereja yang hinggap di taman membawa kabar duka. Katanya, seluruh penjuru kota heboh tersebab virus Corona yang tengah merajai dunia sudah menyerbu Indonesia. Dari selentingan kabar yang dibisikkan angin sore kepada dedaunan, kami tahu bahwa virus itu sangat berbahaya. Manusia bisa mati seketika tanpa diduga.

Sejak hari itu, dalam sepoinya angin kerap membawa kabar kematian yang mengenaskan. Covid-19 sudah menjadi momok, yang mengancam siapa pun tak pandang usia, pangkat/jabatan, ataupun intelektualitas.

Kendati virus itu tak berdampak pada keluarga Orchidaceae atau tanaman lain, kami turut merasakan duka mendalam. Bagaimanapun kami pernah mengalami kondisi antara hidup dan mati. Kala itu, setiap hari kami dihantui rasa takut, takut mati dalam kesia-siaan. Terlebih bagi kami yang belum pernah berbunga, belum pernah menyumbangkan keindahan bagi dunia.       

Entah mulai kapan aku lupa, tetapi gadis penjaga rumah oma tak lagi tergesa-gesa menyiram taman mungil di mana kami masih teronggok. Ia bahkan menyiram kami dua kali sehari, pagi dan sore karena seharian ia ada di rumah. Belakangan kami tahu alasannya. Burung-burung gereja yang mampir bercerita bahwa pemerintah menghimbau agar masyarakat belajar dan bekerja dari rumah; ibadah juga di rumah.   

Keberadaan si gadis di rumah oma menguntungkan kami penghuni taman. Selain tak lagi buru-buru, si gadis sesekali menunjukkan kasihnya. Ia mengobrol dengan para tetua kami dan pepohonan lain. Sering kali ia bahkan bersenandung atau menyanyikan lagu nostalgia seraya menciumi kelopak Cattleya. 'Bila anggrek mulai kembang, aku ingat padamu', demikian sebaris liriknya.

Pada suatu pagi cerah, si gadis datang ke taman dengan peralatan berkebun. Singkat cerita ia mulai membereskan taman mungil yang berantakan saat ditinggalkan oma. Tanpa disangka-sangka si gadis memunguti dan memasukkan kami ke dalam pot kecil koleksi oma.

Seraya menata batang-batang yang mulai bertunas si gadis berucap, "Akibat Corona, satu demi satu kawanku berpulang tanpa sempat kusapa. Aku bahkan tak bisa mengantar ke peristirahatan terakhir mereka. Tak dapat berbuat apa pun selain mendaraskan doa tanpa suara. Jadi, biarlah aku berbuat sesuatu untuk makhluk hidup yang terdekat denganku. Kalian pun punya hak atas kehidupan. Jadi, aku akan merawat kalian Dendrobium Baruna."

Kami sungguh tak mampu berkata-kata. Kami bersyukur tak jadi mati sia-sia. Kami mafhum bahwa sebagai makhluk ciptaan-Nya kita tak dapat mengetahui batas hidup ini. Nyatanya, lewat sentuhan kasih si gadis kami masih dapat hidup hingga hari ini. Tuhan memberikan kesempatan kedua.

Jika dihitung menurut kasus pertama Covid-19 di Indonesia maka usia kami sekitar 170 hari. Semoga kami boleh hidup subur, berbunga, dan mewarnai dunia. Karena menjadi berkat bagi yang lain, itulah arti hidup yang sebenar-benarnya.    

Depok, 21 Agustus 2020

Salam Literasi, Dwi Klarasari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun