"Apa hebatnya?" Sapto tampak belum tertarik.
"Tentu saja hebat, kawan! Bola itu permainan rakyat yang tak pernah basi! Setiap hari orang bermain bola. Liga-liga di seluruh dunia berlangsung sepanjang tahun. Orang tak pernah berhenti menjual baju bola. Banyak penggemar bola jadi bersemangat kalau punya benda bergambar bintang atau tim pujaan. Kita juga pasang poster pemain bola idola, kan? Coba pikirkan!" Andi menjelaskan dengan cepat seperti gaya komentator bola.
Sapto mengangguk-angguk, sepertinya ia mulai memahami ide sahabatnya. Andi memang dikenal sangat cerdas. Walaupun begitu, semangat Sapto belum juga terpacu. "Lalu, siapa yang akan menggambar?" tanya Sapto dengan nada ragu.
"Menggambar? Tak perlulah! Foto para pemain bola ada di koran-koran. Kita pakai koran bekas jadi kertas layang-layang."
"Wah, betul juga! Di mana kita bisa dapat koran bekas, ya?"
"Tenaaang... Papaku berlangganan koran. Nanti kuminta koran bekas di garasi yang biasa dijual ke tukang loak. Kita pilih saja lembaran yang ada gambar pemain bola dan tim bola!" jelas Andi.
"Kamu memang hebat, Andi!"
Tanpa menghiraukan pujian Sapto, Andi melanjutkan, "Nanti layang-layang itu kita jual pada teman-teman. Kita juga bisa jualan di alun-alun. Karena gambarnya spesial, orang-orang pasti mau bayar lebih mahal dari layang-layang biasa. Ya, kan?"
"Wah, idemu benar-benar cemerlang!" seru Sapto gembira.
Kebetulan Sapto memang pandai membuat layang-layang. Sejak duduk di kelas 2 SD, ia biasa membantu ayahnya membuat layang-layang. Selain bekerja di kebun Haji Wongso, almarhum ayah Sapto dikenal sebagai seniman sekaligus perjual layang-layang.
"Kita perlu modal berapa Ndi?" tanya Sapto.