Di kehidupan nyata, usia enam tahun tergolong masih imut dan unyu-unyu. Berbeda halnya dalam dunia digital yang berjalan dengan sangat cepat. Menurutku, enam tahun tergolong usia yang sudah sepuh. Namun, setelah ditelisik ternyata hasil karyaku tidak sepadan dengan "sepuh-nya" usiaku sebagai Kompasianer.
Menurut tayangan dalam profil, per hari ini aku hanya memiliki koleksi 62 artikel (tidak termasuk artikel ini). OMG! Malu juga kalau dipikir-pikir, sedangkan Kompasianer yang baru berusia 1-2 tahun saja sudah memilki ratusan bahkan ribuan artikel. Kesimpulannya, aku sangat tidak produktif!
Selain kurang produktif, yang lebih menyedihkan adalah fakta bahwa sepanjang 2015-2017 aku bahkan sempat vakum sama sekali dan tidak mengikuti perkembangan dunia Kompasiana. Sepanjang periode tersebut hanya ada satu liputan berjudul Dongeng GePPuk Ajak Waspadai Kebakaran yang kutulis sebagai kontribusi relawan Gerakan Para Pendongeng untuk Kemanusiaan (GePPuk).
Ketika kembali aktif menulis pada April 2018, aku sempat tidak paham dengan status Junior serta angka poin (1.405,490) yang tercantum pada profilku. Bagaimanapun, hal tersebut tak terlalu merisaukan karena niatan awal bergabung di Kompasiana lebih untuk berbagi dan belajar.
Namun, saat menulis artikel ini sembari memeriksa kembali apa yang pernah kutulis, diam-diam aku iseng menguraikan statistik yang tertulis dalam profilku (62 artikel; 72.888 dibaca; 277 komen; nilai 395; 9 headline; 45 pilihan). Ibarat kata semacam evaluasi, mumpung jumlah artikelku cuma 62, kalau sudah ratusan atau ribuan pasti juga malas.
Dari 62 artikel tersebut yang paling sedikit dilihat adalah artikel di bulan Bahasa 2012 berjudul Menyikapi Nasib Bahasa Indonesia yang Memprihatinkan dengan 38 view. Sementara yang meraih viewer terbanyak (26.039Â view)adalah artikel Tata Krama Berpamitan.
Di Kompasiana aku menulis untuk kategori apa saja, fiksi maupun nonfiksi--ekonomi, cerpen, puisi, kuliner, hobi, humor, bahasa, edukasi, lingkungan, travel, dll.--pokoknya yang pada saat itu ingin kubagikan. Kebanyakan tulisan bertolak dari sebuah pengalaman, keresahan, keprihatinan, atau sekadar ekspresi perasaan serta berbagai hal yang kuketahui dan/atau baru kuketahui dan menganggap orang lain pun perlu tahu.
Namun, jika ditelusuri, ternyata cukup banyak tulisan bertema "ibu" yang pernah kutulis, terutama sejak aku kehilangan ibuku. Mulai dari puisi, seperti Merindu Ibu; pengalaman bersama Ibu, seperti Terima Kasih Bu Tutik; cerpen, seperti Di Batas Waktu; resep warisan ibu, seperti artikel Rujak Cingur dan Kenangan akan Ibu atau Oblok-Oblok Boros, Masakan Nusantara yang Unik; sekadar pengalaman lucu seperti artikel Ibu, Aku, dan Selimut.
Melalui tulisan di Kompasiana, meskipun sedikit dan secara tak langsung, sejujurnya aku juga ingin memberikan pengaruh baik bagi pembaca. Misalnya lewat artikel Papeda di Hari Kesaktian Pancasila atau artikel Mencintai Indonesia Lewat Recehan agaknya ingin kukobarkan semangat nasionalisme. Keinginan turut membangun rasa cinta dan peduli pada bahasa nasional dan daerah sempat kutuangkan antara lain lewat artikel Apakah Aku Seorang Xenoglosofia? dan Pernahkah Kamu Rindu Berbahasa Daerah? Ajakan untuk peduli pada lingkungan, antara lain melalui artikel Go Green X'mas --Pohon Natal dari Barang Bekas.
Sebagai Kompasianer, beberapa tulisan dibuat sebagai partisipasi dalam lomba yang diadakan oleh Kompasiana dan/atau atas kerja sama Kompasiana dengan suatu sponsor. Sampai hari ini baru sekali kumenangi lomba menulis, yaitu meresensi buku Kang Pepih "Kompasiana Etalase Warga Biasa" (GPU, 2013). Oya, selain itu aku juga beruntung dalam kuis dan mendapatkan oleh-oleh dari Brazil via Mas Isjet kala gelaran Piala Dunia 2014.
Dari Saling Belajar hingga Membuat Buku Keroyokan