Belajar Kerendahan Hati dari Arena Debat adalah artikel "beraroma politik" pertama yang kutulis sekaligus artikel pertamaku di Kompasiana. Artikel ini kutulis dua hari setelah "kelahiranku" sebagai Kompasianer di tengah masa kampanye Pemilihan Gubernur DKI tahun 2012 ketika pasangan Jokowi-Ahok digadang-gadang bakal jadi pemenang.
Menurut yang tercatat pada profilku, aku lahir sebagai Kompasianer pada 16 September 2012. Jadi, tahun ini "aku" genap berusia enam tahun, selisih empat tahun dengan "ibu kandungku" Kompasiana yang tahun ini genap sepuluh tahun.
Perjumpaan dengan Kompasiana
Kapan dan bagaimana mengenal Kompasiana tidak dapat kuingat dengan pasti. Jika dirunut, mungkin karena dahulu aku rajin baca Harian Kompas (milik kantor), yang memiliki rubrik "Kompasiana"; mungkin juga karena aku mengakses Kompas.com. Boleh jadi ada woro-woro yang menarikku mulai mengakses www.kompasiana.com.
Sebenarnya, sejak 2007 aku sudah punya blog pribadi "persinggahanku" sebagai tempat relaksasi. Berbeda dengan berbagai kemudahan sekarang, dahulu dengan bermodal otodidak aku sering merasa kesulitan mengelola blog tersebut. Menggunggah tulisan sering kali masih berantakan. Belum lagi kesulitan menambah fitur-fitur menarik juga berpromosi dan/atau mengundang pembaca.
Tak heran bila tawaran Kompasiana menjadi sangat menarik. Blog "keroyokan" yang kala itu digawangi Kang Pepih Nugraha mempersilakan para pembacanya dan semua orang awam untuk turut menulis. Sekejap terpikir bahwa apa yang kutulis nantinya bakal berpotensi memiliki pembaca atau setidaknya akan ada yang "ngepoin".
Kang Pepih Bikin PedeÂ
Awalnya sih kurang pede. Bagaimana tidak? Kompasianer generasi pertama adalah para jurnalis (Kompas) yang hebat; lalu generasi berikut adalah orang-orang tersohor yang dikenal sangat mumpuni dalam bidangnya. Namun, karena situs yang ditawarkan ini konon berbasis metode produksi konten ala "warga biasa" (User Generated Content/UGC) ketidak-pede-an itu pun perlahan luruh.
Benar adanya jika Kompasiana menghasilkan konten ala "warga biasa" karena sejauh tidak melanggar etika jurnalisme semua tulisan akan ditayangkan. Kompasianer yang bergabung pun datang dari beragam profesi. Jurnalis, penulis, pejabat, karyawan swasta, PNS, wirausahawan/wati, ibu rumah tangga, mahasiswa, dan banyak lagi.
Benarlah pendapat Kang Pepih dalam bukunya "Kompasiana Etalase Warga Biasa" (GPU, 2013) bahwa Menulis itu Dunia Warga Biasa. Ya, menulis itu bukan kegiatan eksklusif para jurnalis dan orang-orang yang berprofesi sebagai penulis. Pada dasarnya semua orang bisa menulis. Persoalannya hanya mau atau tidak. Akhirnya, alih-alih tetap menjadi silent reader, aku pun merasa cukup nyaman untuk turut menulis dan berkomentar.
Ternyata Kurang Produktif