Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kode Tunanetra pada Rupiah

18 November 2018   16:08 Diperbarui: 20 November 2018   17:43 1731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari beberapa tahun lalu, saya berkesempatan berada satu angkot dengan dua orang penyandang tunanetra--sepertinya mereka adalah pasangan suami istri. Dari obrolan singkat saya tahu kalau keduanya hendak pergi ke rumah seseorang yang memanggil mereka untuk minta dipijat.

Di tengah perjalanan saya lihat si suami mengeluarkan lembaran rupiah dari dalam sakunya. Mereka sempat bertanya kepada saya ongkos yang harus dibayar. Dalam hati saya berpikir, pasti sebentar lagi mereka juga akan minta bantuan untuk memilihkan lembaran uang kertas di tangan si bapak sebesar ongkos yang saya sebutkan.

Satu dua menit berlalu, tetapi si bapak tidak juga meminta tolong. Saya melihat dia sibuk meraba-raba satu per satu lembaran rupiah yang ada di tangannya. Kemudian satu per satu diberikan kepada istrinya. Kalau tak salah ingat si bapak memberikan tiga lembar pecahan dua ribuan. Mereka harus membayar enam ribu rupiah. Saya hanya melongo, benar-benar tak habis pikir. 

Sesaat kemudian, mas sopir menurunkan suami-istri tersebut di depan sebuah masjid--seperti permintaan mereka sebelum naik. Ketika sudah turun, si bapak mengambil uang yang tadi dipegang istrinya lalu mengangsurkannya kepada sopir angkot. Pas sesuai tarif, tidak kurang sepeser pun. Mereka berterima kasih dan dengan bantuan tongkat pasangan tunanetra tersebut berjalan memasuki gang di samping masjid.

Setelah angkot kembali berjalan, sebagian besar penumpang di dalam angkot heboh berkomentar dan saling berpandangan dengan wajah takjub.

'Wah, hebat... pinter banget ya si bapak, meskipun buta tapi bisa bedain uang' demikian salah satu penumpang mulai berkomentar. Lalu yang lain menyahut 'mungkin mereka punya indera keenam atau kekuatan apa gitu'. Kala itu saya hanya diam seraya berpikir keras dan memendam rasa penasaran ingin tahu. Dalam hati saya berniat akan mencari tahu--lewat Simbah Google--bagaimana para penyandang tunanetra tersebut bisa mendeteksi nominal rupiah.

Singkat cerita saya pun akhirnya tahu bahwa si bapak tunanetra bisa mendeteksi nominal uang bukan karena memiliki kekuatan supranatural atau indra keenam--seperti komentar para penumpang angkot. Simbah Google menyajikan informasi bahwa pada uang kertas terdapat suatu penanda yang sengaja dibuat untuk memudahkan penyandang tunanetra. Dalam istilah resmi penanda tersebut dinamakan kode tunanetra (blind code).  

Selidik punya selidik, ternyata pemberian kode tunanetra (blind code) pada pecahan uang kertas rupiah tersebut bukan hal baru, tetapi sudah ada sejak tahun 2004. Kodenya berupa bentuk bangun datar yang berbeda-beda untuk tiap pecahan--ada persegi panjang, lingkaran, dan segitiga. Gambar bangun datar yang jelas terlihat dan terasa kasar bila diraba tersebut berada di bagian kiri di bawah nilai nominal pada bagian depan.

Sebagai contoh, kode tunanetra untuk pecahan 2.000 adalah sebuah persegi panjang; untuk pecahan 10.000 kodenya adalah sebuah lingkaran; sedangkan pecahan 50.000 kodenya dua buah segitiga. Konon efek rabaan (tactile effect) yang diterapkan oleh Bank Indonesia pada rupiah yang sangat membantu para tunanetra ini juga menjadi bagian dari fitur keamanan mata uang.

Sumber: www.bi.go.id
Sumber: www.bi.go.id
Sumber: www.peruri.co.id
Sumber: www.peruri.co.id
Mengetahui hal ini saya merasa malu pada diri sendiri. Saya ingat, ada suatu masa ketika marak beredar uang palsu, di berbagai media BI melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang cara 3D untuk mendeteksi uang asli: Dilihat-Diterawang-Diraba. Sepertinya ketika itu saya kurang peduli dan pasti kurang memahami bahwa petunjuk "diraba" ada keterkaitannya dengan kode tunanetra (blind code) tersebut.

Syukurlah saya berjumpa dengan pasangan tunanetra di angkot sehingga pengetahuan saya pun bertambah. Dahulu saya kira memahami detail gambar bangun datar pada pecahan rupiah itu hanyalah pekerjaan orang-orang bank.

Namun ketidaktahuan saya bertahun-tahun lalu itu ternyata bahkan masih menjadi "blunder" pada masa kampanye capres/cawapres pada tahun 2018 ini. Wajarlah bila cuitan dari akun Dahnil A. Simanjuntak (@Dahnilanzar)--salah satu jubir paslon capres/cawapres nomor urut 2--terkait "ide" mencetak uang braille menghebohkan jagat twitter. Terlebih setelah ditanggapi oleh akun Satu Untuk Semua (@OckyAndrianes) yang agaknya adalah karyawan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri).

Saya  kerja di percetakan duit bang, saya paham betul uang yg kita cetak  dengan proses intaglio itu memang di desain untuk memudahkan tuna netra  menggunakan rupiah. Di setiap pecahan terdapat tanda seperti segitiga,  kotak,bulat jadi agaknya ide uang braile sudah kuno 😥😥— Satu Untuk Semua (@OckyAndrianes) November 17, 2018

Penjelasan karyawan Peruri tersebut agaknya juga menjadi pengetahuan bagi banyak orang yang "mungkin" selama ini kurang peduli dan/atau tidak paham seperti saya dahulu. Efek rabaan (tactile effect) pada kode tunanetra (blind code) yang dicetak dengan proses intaglo itulah yang dijelaskan oleh akun @OckyAndrianes.

Kode tunanetra (blind code) berupa bangun datar tersebut di kemudian hari diperbarui oleh Bank Indonesia, tepatnya pada penerbitan pecahan uang kertas emisi 2016. Pada uang baru tersebut kode tunanetra (blind code) diganti menjadi pasangan garis pendek saling berdekatan dengan posisi miring. Kode kasat mata dan kasar tersebut diletakkan pada setiap sisi lembaran rupiah pada bagian depan (gambar utama).

Jumlah pasangan garis berbeda-beda untuk setiap mata uang. Dari nominal terkecil berkurang sepasang demi sepasang sehingga makin sedikit jumlahnya. Pada pecahan 1.000 ada tujuh pasang garis; pada pecahan 2.000 ada enam pasang garis; pada pecahan 5000 ada lima pasang garis; pada pecahan 10.000 ada empat pasang garis; dan seterusnya.

Sumber: wikipedia
Sumber: wikipedia
Harus diakui bahwa bagi orang normal, meraba dan memahami kode tunanetra (blind code) yang ada pada pecahan kertas rupiah bukan pekerjaan gampang. Meskipun demikian, bagi saudara kita yang tunanetra hal ini terlihat mudah. Harus kita yakini bahwa Tuhan memang memberikan kelebihan khusus bagi setiap orang yang memiliki kekurangan dalam indranya.

Bila ada saudara kita tunanetra yang belum memahami seluk-beluk kode tunanetra (blind code) ini sehingga sempat tertipu dalam kehidupan sehari-hari, mungkin solusi yang terbaik adalah dengan menggalakkan sosialisasi dan/atau meningkatkan pengetahuan serta keterampilan mereka. Dengan demikian setiap orang mampu mendeteksi nominal pada uang kertas dengan baik dan benar.

Jika masih memungkinkan, Bank Indonesia juga dapat meningkatkan kualitas teknik pencetakan demi memfasilitasi saudara-saudara kita yang tunanetra; atau segera menarik uang kertas yang sudah terlalu lecek/kumal dari peredaran. 

Sementara itu, kita masyarakat umum dapat membantu dengan menjaga agar uang kertas dalam kondisi terbaiknya. Misalnya, dengan tidak melipat-lipat, mencorat-coret, atau melakukan tindakan apa pun yang berpotensi merusak uang tersebut--terlebih merusak kode tunanetra (blind code).

DK, 18/11/2018       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun