Puncaknya adalah ketika si wanita selingkuhan ditunjuk menjadi sekretaris 1 pengganti sekretaris lama yang mengundurkan diri sedangkan teman saya berperan sebagai sekretaris 2. Ketika teman saya mencoba mengadu dan mengajukan keberatan kepada ketua ormas agar menertibkan anggota tersebut dan menunjuk orang lain saja, ketua ormas hanya berkata bahwa hal itu adalah urusan pribadi teman saya dan si wanita selingkuhan sehingga tidak ada hubungannya dengan ormas tersebut.
Teman saya masih mengalami dilema hingga saat ini, jika dia keluar dari ormas tersebut, si wanita selingkuhan akan merasa menang dan semakin menjadi-jadi apalagi kegiatan ormas tersebut diadakan di kantor suami teman saya. Otomatis teman saya juaga mempunyai kekhawatiran jika suami dan si wanita selingkuhan sering bertemu, maka perselingkuhan akan semakin berjalan lancar. Sedangkan si suami sudah berkomitmen untuk tetap bersama dengan teman saya.Â
Teman saya juga sering merasa rendah diri dan tidak diterima dalam ormas tersebut karena si wanita selingkuhan selalu berusaha mempengaruhi anggota-anggota lain untuk membenci, menghina dan bahkan membully teman saya. Sebuah hal yang mungkin terlihat sepele bagi orang lain tapi menjadi sebuah hal yang berat bagi teman saya tersebut.
Dari penjelasan dan contoh-contoh kasus diatas, ada baiknya kita lebih aware terhadap keadaan sekitar kita. Apakah ada yang menjadi korban toxic relationship atau apakah kita sendiri telah menjadi pelaku toxic relationship.Â
Mari kita bersama merenung dan jika memang ada korban toxic relationship di sekitarkita, kita dapat memberikan bantuan sedini mungkin agar para korban dapat meningkatkan kepercayaan dirinya kembali, dapat menjadi lebih kuat dan keluar dari toxic relationship.
Ind4h0925
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H