Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Indonesia Darurat Bakar Sampah

19 Februari 2019   22:04 Diperbarui: 15 Maret 2019   06:14 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

REVOLUSI SAMPAH, sekarang juga kita mulai!

Sudah berapa menteri lingkungan dan menteri kesehatan Indonesia berganti? Tapi bakar sampah, bencana nasional buatan kita, tidak pernah berhenti, bahkan semakin marak dan menjadi budaya. Hampir setiap hari dari rumah ke rumah, toko ke toko, pabrik ke pabrik, asap sampah mengepul, mengiris paru-paru.

Sudah sama-sama kita ketahui, dan sudah terlalu banyak ditulis - dalam artikel, media masa, dan buku - bahwa bakar sampah sangatlah berbahaya. Asap dari pembakaran sampah organik saja sudah berbahaya, apalagi asap dari pembakaran sampah anorganik, seperti sampah plastik, logam, beling, tekstil, dan karet, yang terkandung dalam berbagai wujud, misah bungkus makanan, spanduk bekas, lap bengkel, dll. Gas-gas yang terbentuk dari bakar sampah memicu beragam penyakit mulai dari batuk, radang tenggorokan, sampai beragam kanker. 

Kementerian kesehatan sering mengkampanyekan perilaku hidup sehat, misal empat sehat lima sempurna, olahraga teratur, dan tidur cukup. Tapi kebiasaan buruk bakar sampah hampir tidak pernah disinggung. Padahal sekalipun sudah bergaya hidup sehat, namun apabila setiap hari terpapar gas beracun dari pembakaran sampah, musnahlah kesehatan yang telah dengan tekun diupayakan. Perilaku sehat menjadi mubazir gara-gara bakar sampah.

Kementerian kesehatan dari pemerintahan ke pemerintahan membangun banyak rumah sakit dan puskesmas, bahkan di era presiden Jokowi, puskesmas-puskesmas bertransformasi menjadi pusat layanan modern, yang layanannya patut diacungi jempol. 

Bisa kita lihat bahwa puskesmas-puskesmas pemberantas penyakit ditingkatkan kualitasnya, namun sumber penyakit, dalam hal ini bakar sampah, terabaikan. Kementerian kesehatan seharusnya berupaya tidak hanya memberantas penyakit, tapi juga mengatasi sumber penyakit.

Kementerian lingkungan dari masa ke masa banyak menggalakkan penanaman hutan kembali dan mendorong pemerintah-pemerintah daerah membuat hutan kota, yang salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan paru-paru hijau, pencipta oksigen, bagi daerah, negara, bahkan dunia. 

Namun di sisi lain, kementerian lingkungan tidak memberi perhatian sama sekali pada bakar sampah masif yang menghancurkan oksigen yang dihasilkan oleh hutan-hutan yang telah mereka ciptakan. Kementerian lingkungan seharusnya berupaya tidak hanya membuat hutan pencipta oksigen, tapi juga menanggulangi bakar sampah perusak oksigen.

Sudah terlalu banyak disampaikan oleh para pakar tentang bahayanya bakar sampah. Kita semua,  mulai dari buruh kecil sampai presiden, bisa merasakan betapa tercekiknya tenggorokan, betapa pedihnya mata, dan betapa sesaknya paru-paru apabila terhirup asap bakar sampah. Pejabat-pejabat di kementerian lingkungan dan kementerian kesehatan jelas tahu betul (mereka ahlinya) betapa gas-gas beracun dari bakar sampah sangat merusak lingkungan dan tubuh manusia. Artinya? Kita mestinya sadar bahwa Indonesia sudah terlalu lama darurat bakar sampah.

Artinya lagi apa? Sekarang juga kita hentikan bakar sampah!

Solusi dan rekomendasi sudah banyak ditawarkan dan disampaikan oleh berbagai lembaga (baca https://www.kompasiana.com/dwi1501/5c7c090412ae940efb6ab2eb/rekomendasi-dan-gerakan-nyata-nahdlatul-ulama-nu-menanggulangi-permasalahan-sampah) dan ahli-ahli lingkungan, termasuk ibu Maria G Soemitro (https://www.kompasiana.com/mariahardayanto), bapak H. Asrul Hoesein (https://www.kompasiana.com/hasrulhoesein), dan ahli-ahli yang aktif di WALHI dan Greenpeace Indonesia (http://www.greenpeace.org/seasia/id/). Sekarang saatnya pemerintah mendengarkan solusi dan rekomendasi mereka, mengajak mereka bicara, dan bergerak!

Kementerian lingkungan dan kementerian kesehatan bisa bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah di daerah dalam mengelola sampah. Berikut adalah sebuah rancangan pengelolaan sampah yang bisa dilakukan di seluruh Indonesia. Setiap rumah tangga, toko, kantor, dan perusahaan dilarang keras membakar sampah. 

Mereka wajib membuang sampahnya ke tiga wadah sampah yang disiapkan pemerintah, yang ditaruh di depan tempat mereka masing-masing. Tiga wadah sampah ini masing-masing untuk sampah organik (daun, sayur, dll), sampah anorganik (plastik, logam, karet, dll), dan sampah berbahaya (baterei bekas, aki bekas, dll).

Seluruh sampah dipilah-pilah dan dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai peruntukannya. Untuk memudahkan, wadah diberi warna berbeda-beda, misal warna hijau untuk wadah sampah organik, kuning untuk wadah sampah anorganik, dan merah untuk wadah sampah berbahaya.

Tentu saja warga boleh tidak membuang sampah organik ke dalam wadah yang disediakan pemerintah, tetapi mengolahnya menjadi, misal, pupuk kandang atau biogas. Warga juga tentu saja diperbolehkan mengelola sendiri sampah anorganik tertentu, misal sampah yang terbuat dari plastik, beling, dan kertas, dengan cara memilah-milahnya dan kemudian menjualnya ke pengepul rosok. Justru swa-kelola sampah oleh masyarakat seperti ini patut didorong karena sangat bermanfaat dan mengurangi beban pemerintah.

Setiap tiga atau empat hari sekali, sampah dari ketiga wadah diangkut oleh petugas yang digaji pemerintah ke tempat penampungan sementara di pojok desa atau kelurahan. Tempat penampungan sementara ini harus jauh dari pemukiman dan dikelilingi pagar tinggi dan hutan kecil, sehingga debu atau bau sampah tidak keluar dari tempat penampungan.

Sampah dari tempat penampungan di desa kemudian diangkut oleh truk pengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) level kabupaten/kota. Di TPA sampah diolah sesuai jenisnya. Sampah organik bisa diolah menjadi, misal, pupuk organik dan gas bio. Sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi, misal, bahan baku plastik dan bahan baku besi tuang. 

Produk-produk daur ulang ini bisa dijual dan pemasukannya digunakan untuk biaya operasional pengolahan sampah mulai dari pengangkutan di level desa sampai pengolahan di TPA. Pemasukan dari penjualan produk daur ulang juga bisa dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk, misal, dana bantuan desa, dana bantuan pendidikan, dan dana pengobatan warga.

JADI, SAMPAH DARI WARGA KEMBALI KE WARGA. Dengan cara ini, udara menjadi bersih, bebas asap bakar sampah; kesehatan warga terjaga; dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Beberapa TPA, seperti TPA Malang dan TPA Jakarta sudah memiliki sistem yang bagus. Namun demikian, perlu ditegaskan lagi 3 hal berikut:

(1) tidak sedikitpun TPA mencemari udara,

(2) tidak sedikitpun TPA mencemari tanah dan air, dan

(3) tidak sedikitpun TPA mencemari pemandangan.

Poin 1 dan 2 membutuhkan teknologi canggih. Pemerintah WAJIB mengupayakan dana untuk teknologi ini dan wajib mengadakannya di TPA-TPA di seluruh Indonesia.

Untuk melengkapi teknologi pencegah polusi, TPA perlu dikelilingi hutan pelindung yang lebarnya minimal 100 meter. Pohon-pohon di dalamnya bisa menyaring debu dan gas beracun yang terlepas dari filter TPA. Selain itu, terkait poin 3, hutan pelindung bisa menyembunyikan tumpukan sampah yang jelas tidak sedap dipandang mata.

Sekali lagi, Indonesia sudah terlalu lama dalam keadaan darurat bakar sampah. Kita sudah terlalu lama menderita, terkena berbagai macam penyakit termasuk kanker, akibat bakar sampah.  Oleh karena itu, sekarang juga pemerintah mau tidak mau harus memulai program pemberantasan bakar sampah, yang salah satu alternatifnya telah disampaikan di atas.

Atau, jika kementerian lingkungan dan kementerian kesehatan sulit memberantas bakar sampah, mengingat daruratnya bakar sampah, yang merupakan bencana nasional buatan kita sendiri, bagaimana jika penanggulangannya diamanatkan pada BNPB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana? Kepala BNPB, Letnan Jenderal Doni Monardo, adalah pemimpin yang sangat peduli lingkungan dan sukses memimpin program penanggulangan sampah dan limbah di Sungai Citarum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun