Ternyata benar, ada satu warung yang masih buka.
“Makan kacang sambil ngopi di tengah-tengah heningnya Alas Ketonggo adalah salah satu anugerah terindah dari Gusti Allah,” kata lek Nar menerawang.
“Benar, Lek.”
Ternyata pengunjung warung orang penting-penting. Ada lurah dari Ponorogo. Ada anggota DPR dari Ngawi. Ada pengusaha kaya. Macem-macem.
Dan ada profesor dari Australia, pak George!
Setelah lewat tengah malam, pengunjung, bapak-bapak ibu-ibu, datang, kebanyakan dengan mobil, mengambil air dari Umbul Jambe. Kata mbah pemilik warung, mereka menggunakan air Umbul Jambe untuk berbagai keperluan, khususnya untuk menjaga kesehatan, mengingat airnya yang jernih dan menyegarkan.
Sekitar jam satu malam pak George bergabung bersama kami di warung setelah saya jemput dari Petilasan Heru Cokro. Warung langsung gempar begitu melihat pak George merunduk ke dalam. Saat pak George dirubung pak Lurah Ponorogo, dan pengunjung-pengunjung super penting lainnya, pikiran menerawang ke yang ditanyakan pak George ke mbah Marji, mengapa selalu ada huru-hara sebelum muncul ketentraman. Raden Patah konon dengan ‘agak memaksa’ meminta ayahnya sendiri Prabu Brawijaya Pamungkas memeluk agama Islam. Demi menghindari perselisihan, Sang Prabu kemudian meninggalkan kraton memilih menyepi tirakat di puncak Gunung Lawu. Di tengah perjalanan, beliau beristirahat di Alas Ketonggo selama beberapa lama. Apakah pemaksaan Raden Patah kepada ayahandanya adalah suatu bentuk ‘huru hara’, dan kemudian bertemunya Raden Patah dan Prabu Brawijaya yang dijembatani Sunan Kalijaga di Petilasan Heru Cokro adalah suatu bentuk ketentraman? Yang muncul setelah adanya huru-hara? Apakah ini semua yang menyebabkan mbah Marji mengkaitkan pertanyaan pak George dengan petilasan Heru Cokro? Yang merupakan lambang penting keharmonisan antara Islam (Raden Patah), ‘Islam~Jawa’ (Sunan Kalijaga Sang Penjembatan), dan Jawa (Prabu Brawijaya Pamungkas) …
Kucing hitam loreng membuyarkan penerawangan. Pak George masih dirubung orang. Gapura garuda masih tegak mengawal Heru Cokro dan Umbul Jambe.
Sinar pagi pertama menyeruak dedaunan jati, mobil pak Anang bergerak kembali ke pendopo Srigati. Jati-jati berlarian di mata pak George yang biru, yang telah puluhan tahun menyaksikan kekeramatan tempat-tempat Njawani di pulau Jawa, dari makam-makam Sunan sampai makam-makam Sultan, dari Alas Purwo di Banyuwangi sampai Alas Ketonggo di lereng Lawu, dari makam Troloyo di Trowulan sampai makam ulama-ulama besar di Banten.
Sayang mbah Marji tidak ada di pendopo. Pak George mengajak kami masuk ke cungkup Srigati. Tempat paling keramat di Alas Ketonggo. Konon setelah pertemuan dengan Raden Patah dan Sunan Kalijaga di Heru Cokro, Sang Prabu Brawijaya melakukan tirakat kumkum, berendam di Kali Tempur, pertemuan dua kali yang terletak di kidul kulon Ketonggo. Setelah menjalani tirakat di Kali Tempur, beliau menanggalkan semua atribut kebesarannya, mulai dari mahkota, jubah, sampai pusaka, di suatu lokasi tidak jauh dari Kali Tempur. Tempat Sang Prabu menanggalkan semua lambang kebesarannya kini dikenal dengan nama Petilasan Srigati.
Seperti yang beliau lakukan di Petilasan Heru Cokro, di Petilasan Srigati pak George duduk bersila, mengheningkan diri, memejamkan mata. Mungkin dalam hening, pak George membayangkan betapa mulia laku Sang Prabu menanggalkan keduniawian, beralih ke kehidupan sejati.