Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Menyiapkan Dana Haji Sejak Dini, Saya Menyesal Kini

14 Desember 2018   14:05 Diperbarui: 14 Desember 2018   14:19 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjidil Haram dan Ka'bah, sumber: pixabay

Panggilan Tuhan
Tidak ada yang tahu kapan Saatnya Berhaji, seperti halnya kapan saatnya mati. Namun serupa dengan bagaimana menyiapkan kematian, sepatutnya kita juga mempersiapkan diri untuk berhaji sebagai panggilan Tuhan. "Tuhan hanya memanggil kita tiga kali: sholat, berhaji dan mati. Sebelum datang panggilan terakhir, sudah selayaknya kita mempersiapkan yang terbaik untuk menyambut panggilan Tuhan tersebut" Pada suatu masa, hati saya tertohok oleh nasihat ini.

Daftar antrian haji yang panjang
Sungguh, saya tercengang dengan antrian daftar tunggu keberangkatan haji. Saat ini di provinsi tempat saya tinggal sudah mencapai 22 tahun! Bayangkan, jika tahun ini mendaftar haji, kemungkinan besar baru bisa berangkat 22 tahun kemudian. Padahal dalam 20 tahun pasti banyak yang terjadi. Apakah masih bisa berangkat dalam kondisi sehat? Atau jangan-jangan nyawa sudah tidak lagi melekat (jadi ingin menangis bombay)

Usia dan stamina
Berhaji adalah ibadah yang paling butuh pengorbanan. Membutuhkan uang, meninggalkan keluarga dan memerlukan stamina luar biasa. Berhaji adalah ibadah fisik. Ritual atau rukun wajib haji seperti thawaf (mengelililingi kabah tujuh kali) dan sa'i (berlari-lari kecil antara bukit shofa' dam marwah), sangat memerlukan tubuh yang kuat, sehat, stamina yang tangguh. Belum lagi jika ingin memperbanyak sholat di seputar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ketika berziarah ke Madinah demi mengumpulkan pahala. Perjalanan berjalan kaki dari penginapan ke kedua masjid istimewa ini tentu membutuhkan stamina yang kuat, tubuh yang sehat. Padahal saya di usia 40-an ini sudah sering mengeluh sakit kepala dan kaki linu-linu. Bagaimana nanti jika sudah usia 50 -- 60 tahun ya?

Inflasi Vs biaya haji
Sudah bukan rahasia lagi jika Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) diperhitungkan dalam bentuk dollar Amerika. Sepanjang pengamatan saya, besaran BPIH setiap tahun cenderung naik. Penurunan nominal BPIH jarang terjadi. Jika pun terjadi penurunan biasanya selisih dengan tahun sebelumnya tidak terlalu besar. Sedangkan masa penantian daftar haji sudah mencapai lebih dari tujuh tahun. Secara otomatis besarnya BPIH juga akan dipengaruhi tingkat inflasi dan kurs rupiah terhadap dollar Amerika. Sebagai contoh, biaya BPIH pada tahun 2009 berada pada kisaran 3200 -- 3500 USD (Kompas.com - 10/07/2009). 

Kurs dollar pada tahun 2009 berkisar antara Rp. 10.500,- artinya BPIH pada tahun 2009 bernilai sekitar 33-36 juta rupiah. Besaran BPIH pernah mencapai hingga 41 juta rupiah yaitu pada tahun 2014. Pada tahun 2018 besaran BPIH berkisar antara 36-39 juta rupiah tergantung pada embarkasinya. Artinya, semakin lama mengulur waktu berangkat haji, kemungkinan besar dana yang disiapkan semakin besar. 

Tanpa meragukan keadilan Allah akan pembagian rezeki, sudah sepatutnya dana haji disiapkan terlebih dahulu sebelum datang tuntutan-tuntutan kebutuhan hidup berikutnya. Biaya pendidikan anak misalnya, seringkali menyita sebagian besar anggaran rumah tangga. Semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin besar pula biayanya, maka biasanya keperluan untuk dana haji terpaksa mengalah.

Apakah sudah terlambat menyiapkan dana haji di usia hampir setengah abad. Tidak, tak ada kata terlambat. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula masih ada harapan. Saya melakukan hal-hal berikut ini untuk mewujudkan impian berangkat ke tanah suci demi memenuhi panggilan Tuhan:

Berdoa dan menitipkan doa
Tak lelah untuk berdoa, agar Sang Kuasa mewujudkan harapan saya menggenapkan rukun islam sebelum kembali ke haribaanNya. Tak lupa juga menitipkan doa pada teman-teman, keluarga yang berkesempatan beribadah ke tanah suci. Saya percaya janji Allah, bahwa doa di waktu dan tempat mustajabah termasuk di depan ka'bah tidak akan tertolak. Hanya tinggal bersabar menunggu waktu saja.

dokpri
dokpri
Afirmasi positif
Afirmasi ini sejenis sugesti. Saya pernah membaca jika saat berdoa, benar-benar khusyu' maka seluruh bagian tubuh seperti dialiri energi, dan seolah turut mendoakan juga. Persis seperti "semesta mendukung" doa yang dipantulkan akan menggema, mencari jalan ke langit ketujuh untuk dikabulkan. Salah satu bentuk afirmasi saya adalah berkunjung ke Masjid Agung Jawa Tengah, saya menyebutnya tiruan Masjid Nabawi, sebab di sana ada payung raksasa serupa seperti yang ada di masjid Sang Nabi ini.

Dokpri
Dokpri
Ikhtiar dengan menabung
Tabungan? Ada tabungan saya masih jauh dari setoran awal  mendapatkan jatah kursi. Itupun baru saja terkumpul setelah saya mencairkan dana pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan. 

Dalam hati, awalnya saya niatkan uang tabungan itu adalah dana pendidikan untuk anak-anak kelak atau dana cadangan jika rumah kami yang sudah belasan tahun ini tiba-tiba mengalami kerusakan hebat yang perlu diperbaiki. Tetapi apakah saya harus "menomor duakan" Allah sekali lagi. Duh jadi malu. Bismillah, bagaimana nanti ke depannya, saya tetap berupaya untuk menambah saldonya sedikit demi sedikit dan berharap bisa memenuhi setoran awal untuk tabungan haji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun