Ribuan kilo jalan yang Ibu tempuh, ribuan kisah menghiasnya dalam suka dan nestapa. Tetapi, sebenarnya bukan fisik anting sebagai pemberian Ibu yang berkesan di hati. Pesan yang mengiringi saat Ibu memberikan perhiasan tersebut yang membuat lidahku kelu. Wasiat Ibu seolah beliau akan pergi dengan segera. Wasiat Ibu untuk memperhatikan pendidikan anak-anakku, hingga berpesan andai kami menemui kesulitan biaya Ibu berharap hasil penjualan anting itu bisa menutupnya.
Terbayang jika beliau tiada...tak ada lagi doa-doa yang mampu menembus langit ketujuh buat kami anak-anaknya. Tiada lagi kaki untuk bersujud memohon restu setiap kali kami mengunjungi Ibu entah di hari-hari biasa atau hari raya. Sebagian ridha Allah pun turut pergi ketika orang tua kita tiada.
Jauh di lubuk hati Aku tak ingin menjual anting tersebut sampai kapanpun. Mungkin kelak akan kuwariskan untuk menantu karena Aku tak punya anak wanita. Sembari menceritakan tentang jatuh bangunnya Ibu merawat keluarga dengan dan tanpa Ayah, menguatkan anak-anaknya untuk tak berputus asa dalam menuntut ilmu meski dalam keterbatasan biaya, tentang petuah dan nasihatnya yang senantiasa membersamai anak cucu seumur hidupnya.
Pesan yang menyertai hadiah pemberian ibu akan selalu menjadi pengingatku. Aku akan selalu berusaha sekuat tenaga mengantar kedua ananda menuntut ilmu setinggi-tingginya. Seperti Ibu telah mengantarku meraih gelar sarjana meski Ayah tiada, keterbatasan biaya memaksa Ibu menjual separuh halaman rumah demi biaya kuliah.
Jauh di lubuk hati tekad kutetapkan. Akan selalu kusimpan, sebuah pemberian. Pemberian yang paling berkesan sepanjang usiaku. Hadiah dari Ibu yang membuat lidahku kelu. Hadiah yang mengingatkan tentang arti perjuangan seorang wanita. Hadiah yang memiliki makna mendalam di baliknya. Hadiah yang diserahkan dengan hati-hati dari lubuk hati.
"Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa ...
Baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas
Ibu....
Ibu....