Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hadiah dari Ibu yang Membuat Lidahku Kelu

28 Desember 2017   10:50 Diperbarui: 28 Desember 2017   10:53 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Ribuan kilo jalan yang kau tempuh lewati rintang demi aku anakmu

Ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah

Seperti udara ...kasih yang engkau berikan

Tak mampu ku membalas...

Ibu....Ibu"

Aku menulis curahan hati kali ini sambil berdendang lirih. Bicara tentang ibu memang tiada habisnya. Tentang perhatiannya, keuletannya, sifat bawaan multi talenta yang membersamainya atau nasihat dan petuahnya.

Tak seorang pun yang bisa memilih dari rahim wanita mana ia dilahirkan. Namun sosok ibu, pastilah istimewa di mata anaknya. Demikian pula Ibu, wanita yang melahirkanku. Berkat bimbingan beliaulah Aku masih tegar berdiri menghadapi derasnya gelombang ujian kehidupan. Setiap perkataannya laksana tuah, perintahnya adalah sabda pandita ratu, pemberian darinya harus kujaga dengan segenap jiwa raga.

Satu pemberian Ibu yang sangat berharga kusimpan dengan hati-hati di dalam lemari, kenangannya tersimpan rapi di sudut hati. Sewaktu Aku masih gadis hingga menikah dan berputra dua seringkali beliau memberikan hadiah-hadiah, tetapi pemberian Ibu yang satu ini yang mampu meluruhkan kristal bening dari mata, menghunjamkan sembilu di hati. Benda yang menjadi saksi bisu masa-masa indah beliau dan almarhum Ayah, saat-saat nestapa ketika Ayah tiada, momen-momen penuh perjuangan di tengah keluarga termasuk momen kala Aku dan Ibu berdua saja kini beralih menjadi hak milik saya.

"Ibu tidak punya warisan yang berharga. Simpanlah sepasang anting ini untuk biaya sekolah anak-anakmu kelak"begitu Ibu berucap sambil menyerahkan sepasang anting lawas yang dilepasnya dari kedua telinga beliau. "Kelak Aku pasti meninggalkan dunia ini, untuk apa berhias lagi, sekarang Aku titipkan anting ini agar memiliki arti lebih baik lagi" Akumenerimanya dengan tenggorokan tercekat. Mungkin jika dinilai secara nominal anting kuno itu tidak akan membuatku kaya raya. Tetapi nilai kisah di balik anting itu sendiri berharga melebihi pundi-pundi. Sebagai kenang-kenangan dari almarhum Ayah di masa awal pernikahan, anting itu bukan sekedar perhiasan tetapi menemani Ibu bertahun-tahun menjadi sosok bunda, istri dan wanita. Bisa dibayangkan betapa berharganya di mata beliau.

Bersama anting itu pula Ibu menemaniku mencari kost dan masa-masa Opspek ketika menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri di luar kota. Anting itu pula yang menjadi saksi ketika Ibu menemaniku interview dari satu instansi ke instansi lain, dari satu ke lain perusahaan. Pernah aku terpuruk karena gagal, menangis bersujud di kaki beliau karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan. 

Pernah kami tersesat di kota besar, berjalan kaki menempuh jarak jauh ke tempat interview karena salah memilih angkutan kota. Sedih juga karena susah payah tetap belum menemukan rezeki yang kudamba. Hingga suatu hari anting sederhana itu juga menjadi saksi terkembangnya senyum di bibir Ibu ketika kuajak beliau menyaksikan tempat kerja pertama bagai Si Kabayan Saba Kota.

Ribuan kilo jalan yang Ibu tempuh, ribuan kisah menghiasnya dalam suka dan nestapa. Tetapi, sebenarnya bukan fisik anting sebagai pemberian Ibu yang berkesan di hati. Pesan yang mengiringi saat Ibu memberikan perhiasan tersebut yang membuat lidahku kelu. Wasiat Ibu seolah beliau akan pergi dengan segera. Wasiat Ibu untuk memperhatikan pendidikan anak-anakku, hingga berpesan andai kami menemui kesulitan biaya Ibu berharap hasil penjualan anting itu bisa menutupnya.

Terbayang jika beliau tiada...tak ada lagi doa-doa yang mampu menembus langit ketujuh buat kami anak-anaknya. Tiada lagi kaki untuk bersujud memohon restu setiap kali kami mengunjungi Ibu entah di hari-hari biasa atau hari raya. Sebagian ridha Allah pun turut pergi ketika orang tua kita tiada.

Jauh di lubuk hati Aku tak ingin menjual anting tersebut sampai kapanpun. Mungkin kelak akan kuwariskan untuk menantu karena Aku tak punya anak wanita. Sembari menceritakan tentang jatuh bangunnya Ibu merawat keluarga dengan dan tanpa Ayah, menguatkan anak-anaknya untuk tak berputus asa dalam menuntut ilmu meski dalam keterbatasan biaya, tentang petuah dan nasihatnya yang senantiasa membersamai anak cucu seumur hidupnya.

Pesan yang menyertai hadiah pemberian ibu akan selalu menjadi pengingatku. Aku akan selalu berusaha sekuat tenaga mengantar kedua ananda menuntut ilmu setinggi-tingginya. Seperti Ibu telah mengantarku meraih gelar sarjana meski Ayah tiada, keterbatasan biaya memaksa Ibu menjual separuh halaman rumah demi biaya kuliah.

Jauh di lubuk hati tekad kutetapkan. Akan selalu kusimpan, sebuah pemberian. Pemberian yang paling berkesan sepanjang usiaku. Hadiah dari Ibu yang membuat lidahku kelu. Hadiah yang mengingatkan tentang arti perjuangan seorang wanita. Hadiah yang memiliki makna mendalam di baliknya. Hadiah yang diserahkan dengan hati-hati dari lubuk hati.

"Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu

Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu

Lalu doa-doa ...

Baluri sekujur tubuhku

Dengan apa membalas

Ibu....

Ibu....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun