Mengingat ayah telah berpulang dua tahun lalu membuat aku menjadi satu satunya yang harus menjaga ibu karena kakakku juga sibuk mencari pundi-pundi Rupiah dan menjadi tulang punggung keluarga.
Ibu telah sakit sejak lama, tuberkulosis sangat betah di tubuh kecil ibu dan kini ditambah dengan demam, aku tak tega melihat ibu yang kini sedang terlelap, aku selalu berdoa agar ibu selalu diberi kesehatan. Aku kecup kening ibuku dengan lembut, lalu aku peluk dan berbaring di sebelahnya.
-
Senin pagi begitu cerah di sorot mataku tapi tidak di hatiku, hatiku mendung dengan awan hitam dan rintik hujan yang mulai turun perlahan.
Ibu telah kembali pada Sang Pencipta semalam saat aku sedang terhanyut dalam mimpi. Kakakku sudah berangkat dari Bandung subuh tadi dan akhirnya ia tiba dan langsung memelukku erat, sangat erat.
Hujan deras yang sedari tadi masih tertahan kini tumpah di wajahku bersamaan dengan Kakakku yang mulai sesenggukan. Kini Ibu dan Ayah sudah bersama di sana, dan aku hanya berdua dengan Kakakku di rumah berpetak persegi ini.
Hampa dan sunyi akan menjadi temanku, atau rumah ini akan dijual? Dan aku tinggal di rumah nenek? Tak ingin rasanya aku memikirkan itu, terlalu banyak momen bahagia di rumah mungil ini.
Kemerdekaan bagi Indonesia kali ini terasa hambar, semangatku tak seperti para pahlawan tahun 45 atau anak-anak yang sedang lomba makan kerupuk. Mataku mulai membengkak karena seharian menangis, untuk pertama kalinya aku merayakan 17 Agustus ini dengan kesedihan yang mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H