Siang ini terik matahari begitu menyilaukan, hingga keringat terus menetes saat aku latihan menjadi pengibar bendera untuk upacara 17 Agustus nanti di SMA Negeri 1 Jakarta.
"Gila musim panasnya makin makin aja ya, ditambah enggak hujan dari kemaren" keluh seorang temanku yang satu ekstrakurikuler paskibra dengaku, "iya ya sampe basah gini kita udah kaya mandi keringet haha" celotehku dengan lelucon garing dan dibalas senyum manis dari wanita berparas cantik itu.
Impian kami sama ingin menjadi petugas upacara di hari kemerdekaan di Istana Presiden. Aku ingin sekali menjadi pembawa baki bendera pusaka Indonesia dan aku berharap bisa mewujudkan mimpi itu.
Akhirnya latihan selesai di Jumat terik ini, aku membuka ponselku yang bergetar, ada 5 panggilan tak terjawab dari kakakku, lalu ada beberapan pesan tertinggal sampai memenuhi layar ponselku. Aku buka pesan itu dengan sigap, saat membacanya jantungku berdegup sangat cepat meninggalkan penat yang aku rasa. Dengan segera aku bergegas pulang menuju rumah.
-
Sudah hampir seminggu ibu terbaring sakit, dan kemarin kakakku harus pergi merantau di Bandung karena posisi pekerjaannya yang di angkat menjadi manajer di sana dan mengharuskan ia jauh dari kami.Â
Aku harusnya sekolah tapi terpaksa aku izin tak masuk karena ibuku yang sedang demam. Padahal beberapa hari lagi aku akan menjadi pengibar bendera di sekolah untuk menyambut hari kemerdekaan Indonesia yang ke 75.Â
Karena keadaan ibuku, aku sudah tidak masuk sekolah selama tiga hari lamanya, entah posisiku akan digantikan atau bagaimana padahal aku sudah latihan sangat keras.
Tiba-tiba ponselku bergetar, ada pesan masuk dari temanku "Lo diganti gapapa? soalnya udah mepet juga dan lo udah ga masuk dari kemaren".
Dadaku sesak membaca pesan singkat itu, lalu aku balas dengan tangan kaku mengetik di layar ponsel "Iya gapapa, maaf ya bikin repot".Â
Latihanku selama berminggu minggu kandas sudah, aku harus ikhlas ini semua demi ibu, 'aku harus jaga ibu siapa lagi kalau bukan aku' gumamku dalam hati.Â
Mengingat ayah telah berpulang dua tahun lalu membuat aku menjadi satu satunya yang harus menjaga ibu karena kakakku juga sibuk mencari pundi-pundi Rupiah dan menjadi tulang punggung keluarga.
Ibu telah sakit sejak lama, tuberkulosis sangat betah di tubuh kecil ibu dan kini ditambah dengan demam, aku tak tega melihat ibu yang kini sedang terlelap, aku selalu berdoa agar ibu selalu diberi kesehatan. Aku kecup kening ibuku dengan lembut, lalu aku peluk dan berbaring di sebelahnya.
-
Senin pagi begitu cerah di sorot mataku tapi tidak di hatiku, hatiku mendung dengan awan hitam dan rintik hujan yang mulai turun perlahan.
Ibu telah kembali pada Sang Pencipta semalam saat aku sedang terhanyut dalam mimpi. Kakakku sudah berangkat dari Bandung subuh tadi dan akhirnya ia tiba dan langsung memelukku erat, sangat erat.
Hujan deras yang sedari tadi masih tertahan kini tumpah di wajahku bersamaan dengan Kakakku yang mulai sesenggukan. Kini Ibu dan Ayah sudah bersama di sana, dan aku hanya berdua dengan Kakakku di rumah berpetak persegi ini.
Hampa dan sunyi akan menjadi temanku, atau rumah ini akan dijual? Dan aku tinggal di rumah nenek? Tak ingin rasanya aku memikirkan itu, terlalu banyak momen bahagia di rumah mungil ini.
Kemerdekaan bagi Indonesia kali ini terasa hambar, semangatku tak seperti para pahlawan tahun 45 atau anak-anak yang sedang lomba makan kerupuk. Mataku mulai membengkak karena seharian menangis, untuk pertama kalinya aku merayakan 17 Agustus ini dengan kesedihan yang mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H