Mohon tunggu...
Davi Massie
Davi Massie Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan dan Blogger

If opportunity doesn’t knock, then build a door.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Antara Aku, Rey, dan Musik

3 Maret 2020   15:15 Diperbarui: 3 Maret 2020   15:51 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi/doc: Keepo.me

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional.  Musik adalah kata yang paling aku sukai dan selalu bisa mengusik jiwaku, karena dari dalam kata itulah, aku menemukan banyak makna dari kehidupan, dari kata itulah aku semakin mengenal dia, Rey.

Terlebih lagi ketika aku semakin dekat dengan sosok Rey yang sangat sederhana, namun mampu mengusik hati. Dia yang sangat cinta dengan dunia musiknya. Yang paling aku kagumi dari dirinya adalah semua pengetahuan yang dia miliki kini tentang musik dan tentu caranya bermain musik.

Ojek yang aku tumpangi tiba-tiba berhenti karena lampu merah menyala diperempatan jalan. Tapi aku sedikit terusik oleh suatu suara, suara yang samar seperti mirip dari dia yang ku kenal dekat, "yah seperti suara Rey" gumamku.

Suara yang enak terdengar masuk ke dalam telingaku, dan tak kusangka suara itu berasal dari seorang pengamen jalanan. Lucunya, bukan saja suaranya yang mirip, tapi juga saat itu sang pengamen menyanyikan lagu favorit Rey. Cinta Luar Biasa, milik penyanyi Andmesh Kamaleng.

Setelah jumpa pengamen itu, aku pun bergegas tak sabar ingin segera tiba di kediamannya. Tiada hari yang tak terlewati tanpa berjumpa dengannya, meski hanya sejenak di waktu senja, di sekitar perumahan tempatnya tinggal. 

Apalagi jika akhir pekan, tak ada kesibukan lain selain kami habiskan waktu bercerita, bernyanyi atau sekedar aku menikmati caranya bermain gitar.

"Rey, tadi aku mendengar suara seseorang yang sangat mirip dengan kamu, bahkan dia menyanyikan lagu kesukaanmu. Sempat kaget aku, aku pikir sedang apa kamu di lampu merah, hahaha..."

"Memangnya suara siapa yang berani menyamai aku," jawab Rey lembut.

"Suaranya pengamen, pasti kamu tidak percaya kan!?" Sambil menyambar secangkir kopi yang terlihat masih belum tersentuh diatas meja, milik Rey.

"Enak yah bisa denger suara merdu di lampu merah" Rey memulai pembicaraan dan langsung mengambil gitar di dekatnya, seperti biasanya.

"Inilah hidup, semua bisa terjadi kebetulan atau mungkin tiba-tiba." Kataku sambil menawarkan makanan kesukaannya yang aku bawa, roti bakar coklat keju. 

"Yang jelas hidup ini di nikmatin saja supaya tidak bikin pusing." Sambungku.

"Bicara soal kebetulan, nah kebetulan aku ditawari manggung tiap akhir pekan di sebuah cafe, Na." jawab Rey melanjutkan pembicaraan.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Rey dengan sedikit mengerutkan dahinya, menunggu pendapatku.

"Rey, semua hal yang kamu suka dan kamu happy melakukannya, lakukan saja, aku dukung" sahutku. Aku tau bagaimana kecintaannya terhadap musik sekarang ini.

Dengan tangan yang terus memetik gitar dan suara yang bersenandung beberapa nada, aku melihat Rey menghela nafasnya dan sejenak memejamkan kedua matanya.

"Kamu tahu Na,...butuh banyak keberanian untuk aku mulai melanjutkan hidupku." Jawab Rey dengan suara pelan dan sedikit tertahan.

Kurasa, masih terekam jelas di memori Rey kejadian dua tahun lalu. Seperti merenggut semua hari-harinya. Seperti merampas semua hasrat dan cita-cita yang pernah ada didalam dirinya.

Bukan tanpa sebab Rey menjadi seorang pemusik, bukan tanpa alasan Rey menjadi pecinta musik. Karena sebelumnya Ia tak pernah mengenal dunia musik. Karena sebelumnya Ia tak pernah mencintai dunia musik.

6 tahun lamanya Rey berkecimpung dalam arena balap. Ia seorang pembalap motor. Itu adalah bagian dari hobinya. Beberapa kali Ia mengikuti ajang Drag Bike bersama kawan-kawan satu klub yang memiliki kegemaran yang sama dengannya.

Kebanyakan sirkuit untuk motor di wilayah Jawa memang belum permanen. Lebih banyak masih menggunakan jalan Raya. Itulah sebabnya terlalu beresiko memiliki hobi seperti ini. Tapi resiko inipun tak menjadi momok yang menakutkan bagi seorang Rey.

Dengan tangan yang berhenti memetik gitar, ku lihat Rey memalingkan tatapannya jauh keluar. Entah apa yang ada dibenaknya saat itu, seperti lamunannya jauh ke masa itu. 

Yah, masa yang akupun sebenarnya tak ingin mengingatnya. Mengenal seorang Rey kala itu, antara pilihan bertahan atau meninggalkan dia, dengan segala obsesi nekatnya.

***

Di suatu masa Rey pernah menjadi,

Sosok yang kuat,

Sosok yang pemberani,

Sosok yang selalu punya asa,

Sosok seperti apa yang dia inginkan,

Sosok yang selalu dia idamkan.

Ketakutan bukan bagian dari dirinya,

"Takut?, Rasa takut untuk apa?", Itu yang selalu diucapkannya.

"Karena hidup hanya sekali, lalukan saja apa yang aku mau, bahkan mungkin maut tak akan bisa mengambilku."

Terngiang ucapan Rey yang selalu diulangnya setiap kali aku mengingatkannya akan hobinya itu.

Tapi tepat di saat itu, 2 tahun yang lalu,

Ditempat dimana Rey pernah berdiri teguh disamping motor kebanggaannya,

dimana ia pernah meneriakkan suara lantangnya, menantang kejamnya maut,

Ditempat itu juga, hidup memutarbalikan takdir Rey.

Ditempat itu juga, tubuhnya terhempas, tergeletak dan tak bergerak.

Untuk sesaat tubuhnya kaku, 

Terdiam dalam heningnya alam maut,

Terhempas oleh kesombongan, 

Dan terbujur dalam kelamnya kedalaman dunia bawah sadar,

Ketika tiba-tiba matanya terbuka,

Namun lidahnya membeku tanpa kata-kata,

Nanar pandangannya menatap sekeliling,

Hanya ada aku, Ibu Rey dan para sahabat,

Tak ada lagi suara lantangnya tentang asa-nya,

Tak ada lagi suara lantangnya tentang impian-nya,

Tak terdengar lagi suara Rey ditempat itu,...karena saat itu Rey bukan Rey...bukan lagi Rey...takdir telah merampas semua itu.

Dalam asa Rey yang terpuruk diranjang rumah sakit, terngiang perkataanku saat itu...

"Rey..."

"Bukankah hidup hanya sekali?"

"Bukankah Matahari akan tetap terbit di ufuk timur meskipun langit runtuh,"

"Bukankah gemuruh guntur akan berhenti ketika hujan mulai reda,"

"Bukankah burung akan tetap bernyanyi, meskipun tak ada lagi dedaunan di ranting,"

"Bukankah waktu akan tetap berjalan meskipun dirimu terpaku diam."

"Ayolah Rey, bangkitlah!"

"Hidupmu dimulai lagi Hari ini," teriakku mengguncang tubuhnya yang terdiam.

"Jangan lagi ditempat yang sama"

"Jangan lagi dengan impian yang sama"

"Ayolah Rey, bangkitlah!"

"Kini dirimu kembali menjadi kamu yang sebenarnya," kata hatiku lirih menurunkan intonasi suaraku saat itu.

"Karena ketika bejana dibentuk, kamu tidak akan bisa melihat keindahannya Rey, ketika harus terlebih dahulu diremukkan,..."

"Begitu pula dengan dirimu Rey, ayo bangunlah"

Kini, suatu saat di suatu hari, ketika masa itu terlewati. 

Aku berharap Ia tak akan menoleh kembali ke belakang,

Tempat dimana Ia pernah diremukkan, 

Kini biarlah dia dibentuk menjadi baru, memiliki hidup yang sebenarnya.

***

2 tahun yang terlewati ketika Rey mencoba bangkit dari masa-masa itu. Musik menjadi satu-satunya pelarian. Setiap melodi yang keluar dari setiap petikan gitarnya, telah mampu membebat setiap luka di batinnya. 

"Hei Rey, gimana kalau kita lanjutkan tentang lagu-lagunya?"

"Lanjutkan?", Jawab Rey yang tiba-tiba tersentak karena suaraku membuyarkan lamunannya.

"Melodi yang baru saja kamu mainkan barusan belum selesaikan?" aku tersenyum lebar. "Kamu hanya bersenandung Rey, bahkan kamu belum menamainya."

"Hehehe...kamu mau bantuin aku? Oh iya sekalian pilih beberapa lagu yang akan aku nyanyikan di penampilan perdanaku pekan depan di Cafe itu," lanjut Rey.

"Okay, apa kamu sudah memikirkan judulnya?" tanyaku penasaran, memikirkan apa judul yang akan Rey buat kali ini.

"Lilac..." sahut Rey sambil menatap tajam ke arah ku.

"Lilac? Apa itu? Lalu artinya apa?"

"Lilac itu nama sebuah bunga yang biasanya tumbuh di perbukitan berbatu. Tapi meskipun begitu, bunga nya sangat indah dan siapapun yang memandangnya, akan jatuh cinta. Bahkan sejak pandangan pertama." 

"Seperti kamu." Rey tersenyum sambil kembali menjentikkan jemarinya diatas dawai gitarnya.

Entah kenapa ada sesuatu yang begitu menyentuh didalam hati ini saat mendengar jawaban Rey. Dan entah kenapa aku belum pernah merasa sesenang itu selama ini. Rey terus menatapku sambil tetap memainkan melodi gitarnya. Dia tampak begitu bersemangat.

Hari itu kami menghabiskan waktu berjam-jam, sampai kami menyelesaikan semua pilihan lagu-lagu yang Rey akan bawakan, termasuk satu melodi lagu yang baru saja ia selesaikan.

"Kamu hebat Rey," gumamku.

"kembalilah menghidupkan hidupmu. Aku akan selalu disini, mendukungmu."

***tim MeatLovers-Topik 3 Cerpen Hari Musik***
S Gloria
Windu Basuki
Davi Massie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun