Mohon tunggu...
Dvi Shifa
Dvi Shifa Mohon Tunggu... profesional -

Am I global citizen? Just an ordinary Indonesian citizen and am sad to see that my homeland has entered "a crisis of identity" phase.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Turun dari Kereta Karena Tidak Ada Visa Masuk

5 Juni 2016   09:27 Diperbarui: 5 Juni 2016   15:28 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kenangan yang terjadi pada tanggal 15 Januari 2010

Rasanya susah dipercaya kalau saya bisa begitu lengah tetapi itulah kenyataannya.

Saya yang tukang jalan bisa begitu teledor, dan tidak mengecek ulang detail perjalanan saya ke Italia kali ini. Yang ada dalam pikiran saya hanyalah mencari kereta Euro Night yang murah dan yang jam tibanya tidak terlalu pagi. Pikir saya lebih baik tidur di kereta daripada mati bengong di stasiun kereta mengingat ini perjalanan pertama saya ke Italia. Setelah melewati berbagai pertimbangan dan perdebatan dengan seorang kawan, akhirnya saya memutuskan untuk jalan sendiri ke Italia dengan rute naik kereta Euro Night dari Budapest ke Venezia berangkat pukul 17:00 dan tiba sekitar pukul 7:30 pagi dengan harga tiket 76 euro (kelas 2 dengan kompartemen  untuk 6 orang).

Ternyata kereta berangkat 15 menit terlambat dari jadwalnya dari stasiun Keleti (Keleti Palyaudvar)  di kota Budapest yang cantik   dan saya hanya seorang diri dalam gerbong kompartemen tersebut. Kompartemennya sangat bersih dan setiap penumpang diberikan bantal tipis, selimut, seprei dan sarung bantal yang walaupun ada bolong-bolongnya, tetapi tetap bersih. Saya pikir, ini pasti gara-gara berangkat dari bekas negara sosialis, jadi fasilitasnya seperti ini...

Selama perjalanan saya memutuskan untuk tidur-tiduran saja. Ketika tiba-tiba saya terkejut saat mendengar suara orang berkata,"passport checking", alert system dalam diri saya tiba-tiba bangkit. Wadow, kenapa harus ada passport checking, karena seharusnya saya tetap berada dalam teritori negara-negara Schengen dan seharusnya tidak ada pemeriksaan paspor. Ketika seorang petugas mengetuk pintu kompartemen saya, saya langsung bertanya, sekarang kita sedang berada di mana dan dijawab dengan bahasa Inggris a la kadarnya bahwa sekarang sedang berada di perbatasan Hungaria dan Kroatia. Deg! Mampus gue, sebagai orang yang dulu pernah kerja di kedutaan besar asing dan tukang ukur jalan, saya tahu sekali bahwa Kroatia itu belum menjadi anggota Schengen!  Setengah mati saya menyesali ketelodoran saya karena tidak mengecek detail perjalanan lintasan kereta api malam ini!

Walaupun tujuan saya jelas-jelas ke Italia tapi karena ini perjalanan darat dan melintasi negara yang bukan anggota Schengen, pastinya paspor saya akan dicap keluar dari Schengen dan masuk Kroatia kalau saya punya visa Kroatia. Demi Tuhan, saya tidak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi, walaupun untungnya saya tetap tenang dan yakin bahwa saya bisa mengatasi situasi yang mungkin cukup menegangkan bagi semua orang yang belum pernah mengalaminya.

Benar saja ketika kemudian ada polisi lagi yang datang dan memeriksa paspor saya, walaupun agak kaget dan spontan saya mengatakan sudah diperiksa sambil menyerahkan kembali paspor saya. Polisi ini membalik-balik semua halaman paspor saya dan memeriksa catatan dari bukunya seraya sedikit terkesima melihat jajaran berbagai visa dari negara-negara besar yang tertempel di dalamnya. Kemudian terjadilah percakapan berikut ini...

"Where are you going?"

"Italy."

"Do you know where we are now?"

"No, I don't"

"You are about to enter Croatia and I don't see you have Croatian visa here. So get all your stuff and get off of the train."

"Sorry, I really don't know that." Sambil saya berkemas-kemas dan mengikuti sang polisi untuk turun dari kereta.

My Goodness, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 22:25. Saya langsung menghubungi salah seorang kawan saya di Slovakia untuk mengabarkan kejadian ini. Kontan dia terkejut dan langsung meminta saya untuk mengikuti saja apa perkataan polisi tersebut dan sekaligus minta maaf pada saya, karena dia juga melupakan status saya yang merupakan warga negara Indonesia yang memerlukan visa ke hampir semua negara. Dia juga menyarankan saya untuk mencari kereta berikutnya yang kembali ke Budapest.

Saya turun dari kereta dan harus menunggu para polisi yang masih melakukan pemeriksaan paspor di seantero gerbong lainnya. Wow, malam itu lumayan dingin di perbatasan Hungaria dan Kroatia ini. Saya bahkan tidak tau apa nama kota ini.  Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya diminta mengikuti salah satu dari polisi tersebut masuk ke dalam kantor mereka, karena katanya ada surat yang harus saya tanda tangani. Sang petugas juga menanyakan siapa nama ayah saya dan apa profesi saya. Kemudian saya tetap minta maaf kepadanya mengatakan bahwa saya tidak tahu bahwa Kroatia masih belum menjadi anggota Schengen (white lies...gak papa deh).  Dia hanya mengatakan bahwa saya bukan satu-satunya orang yang mengalami kejadian ini dan sudah banyak yang mengalaminya. Sepertinya sang petugas memang percaya dan tidak mencurigai apapun tentang saya. Saat saya menanyakan cara masuk ke Italia tanpa melintasi Kroatia, dia hanya berkata satu-satunya cara adalah naik taksi dari sini menuju Slovenia dan Italia....Gubraks...aduh pak polisi, apa gaya gue kurang a la backpacker?? Gue bukan turis yang banyak duit...hihihihi...enak aja nyuruh gue naik taksi.

Setelah urusan administrasi dengan pihak Kroatia selesai dan saya menandatangani dokumen yang menyatakan saya tidak diperkenankan melanjutkan perjalanan karena tidak memiliki visa masuk Kroatia, sang polisi yang berbicara dengan Bahasa Inggris yang bagus ini mengawal saya menuju ke sisi Hungaria dan di sana saya diserahkan ke pihak Hungaria. Aduh persis seperti di film-film Hollywood waktu penyerahan tawanan...he he he...what an experience.

Bisa ditebak setelahnya, paspor saya yang sudah dicap keluar dari Hungaria dicoret dan artinya saya sudah berada dipihak yang aman. Ketika ditanya selanjutnya hendak ke mana, saya katakan akan kembali dengan kereta berikutnya ke Budapest  dan tidak akan melanjutkan perjalanan ke Italia malam itu. Rupanya nyaris tidak ada polisi Hungaria yang bisa berbahasa Inggris. Hanya ada seorang wanita mungil (mungil dan kecil karena lebih pendek dari saya) yang berusaha membantu saya dengan Bahasa Inggrisnya yang terpatah-patah dan bercampur bahasa Hungaria.Ya Tuhan, saya menyesali diri karena tidak  bisa berbahasa Hungaria sama sekali dan baru sadar bahwa kereta berikutnya yang kembali ke Budapest hanya ada keesokan paginya!!!

Karena ada 1 ruang tunggu di stasiun kereta itu, para polisi berbaik hati membukakannya untuk saya dan untungnya pemanas ruangan di dalamnya bekerja dengan baik. Saya rasa suhu udara malam itu sekitar minus 5 atau lebih rendah lagi.  Mereka memperlakukan saya dengan sangat baik dan seorang petugas polisi wanita lainnya menanyakan dalam Bahasa Jerman apakah saya perlu ke kamar kecil karena akses pintu menuju bagian belakang stasiun yang menuju kamar kecil terkunci. Ini dia...saya jadi teringat perkataan kawan saya bahwa dulu saat masa sosialis, pelajaran bahasa asing di sekolah yang wajib adalah bahasa Rusia. Sedangkan pilihannya kalau tidak Bahasa Inggris ya Jerman.

Saat berada dalam teritori Hungaria, barulah saya tahu nama kota ini adalah Gyekenyes. Kota di selatan Hungaria yang berbatasan dengan Kroatia.

Saya baru menyadari karena melakukan telepon internasional dengan kawan saya di Slovakia, saya kehabisan pulsa. Padahal saya masih perlu memberitahukan kawan yang akan menjemput saya di Italia dan kawan lain yang menunggu jawaban saya tentang kereta berikutnya ke Budapest. Setengah mati saya mencoba menggunakan bahasa tarzan dengan 2 orang petugas polisi yang tersisa malam itu untuk meminjam telepoon mereka untuk mengirimkan sms, namun sia-sia saja. Akhir kata, silakan menunggu sampai besok harinya karena menurut jadwal kereta terpagi adalah pukul 04:41.

Lengkaplah sudah keapesan malam itu. Tidak ada pulsa telepon dan terpaksa menginap di tempat antah-berantah. SMS terakhir saya kepada teman di Slovakia hanya menyebutkan bahwa besok kereta terpagi adalah pukul 04:41. Hanya itu saja. Sambil menunggu dalam ruang tunggu yang lumayan bersih namun berantakan, saya baru tersadar bahwa saya hanya punya mata uang euro dalam dompet saya dan di Hungaria ini mereka masih menggunakan mata uang Hungarian Forint (HUF). Belum semua tempat menerima mata uang euro. Rasa panik mulai menyerang, karena saya khawatir di desa kecil ini mana mungkin punya tempat penukaran valuta asing. Tapi apa daya, ini sudah tengah malam, saya hanya bisa menunggu sampai besok untuk mencari tahu apakah loket kereta bisa menerima mata uang euro untuk membeli tiket kereta.

Menurut sang petugas polisi, loket kereta buka pukul 03:30 pagi. Tetapi nyatanya  baru pukul 4 pagi petugas loket membuka jendelanya. Dan seperti dugaan saya, dia tidak melayani pembelian tiket dengan mata uang euro. Harga tiket ke Budapest 3590 HUF atau kalau dijadikan euro menurut kurs 1 euro = 270 HUF, maka harusnya harga tiket itu hanya sekitar 13.3 euro. Haduh, sudah lengkap belum ya daftar kesialan saya kali ini?

Di tengah hujan salju yang mulai turun dan di pagi buta itu, saya nekad jalan sendiri ke luar stasiun mencari tahu sekiranya ada tempat penukaran mata uang asing di sana atau ATM.  Dengan membawa semua peralatan tempur dan perbekalan saya (chicken burger dari Burger King) saya menyusuri jalan beraspal sekitar hampir 30 menit dan tidak menemukan apapun. Rasanya suhu udara lebih dingin dibandingkan malam sebelumnya, karena sekarang ditambah hujan salju. Saya memutuskan kembali ke stasiun kereta dan kali ini berharap bisa bertanya dengan calon penumpang tentang lokasi ATM dan saya akan duduk persis di depan loket penjualan karcis, dengan tujuan si penjual karcis akan berbaik hati memberikan saya solusi lainnya. Intinya saya hanya ingin kembali ke Budapest sesegera mungkin!!  Sayangnya, upaya saya belum membuahkan hasil apapun.

Waktu terus berjalan dan sampai pukul 5:30 pagi saya masih belum bisa beranjak dari situ. Karena merasa lapar, saya makan chicken burget yang sudah membeku karena saya bawa serta saat berjalan keluar mencari lokasi ATM.

Si gadis penjaga loket tiket seolah tidak memerdulikan saya, karena membiarkan saya tertinggal kereta pertama pukul 04:41 tadi. Antara perasaan lelah dan mengantuk serta sedikit putus asa, saya terus berdoa berharap bahwa akan terjadi sedikit keajaiban atau datang pertolongan entah dari mana. Kereta berikutnya ke Budapest adalah pukul 07:00 pagi dan selanjutnya pukul 12:10 siang.  Apapun yang terjadi saya ingin naik kereta pagi dan tidak mau berada di sini sampai siang hari.

Orang-orang mulai berdatangan ke stasiun dan rupanya hujan salju makin deras di luar sana.  Waduh, moga-moga tidak ada kereta terlambat karena rel tertutup salju tebal dan susah dilewati. saya mencoba bertanya kepada mereka apakah mereka di mana letak ATM terdekat. Dengan bersusah payah menggunakan bahasa tarzan, ternyata tidak ada orang yang bisa memberikan jawaban di mana lokasi ATM. Percuma saja yang mencoba menggunakan kata Bankomat (= ATM), karena tak seorang pun bisa memberikan jawaban memuaskan untuk saya.

Dengan menjalankan strategi tampang putus asa dan terus berdoa dalam hati, saya kembali duduk di depan loket penjualan tiket kereta dan kembali berharap si gadis penjaga loket akan iba hatinya. Saya semakin putus asa ketika waktu sudah menunjukkan pukul 6:15 pagi. Namun tiba-tiba si gadis penjaga loket menghampiri saya dengan bahasa tarzan mencoba memberitahukan bahwa saya bisa naik kereta ke Budapest yang jam 7 pagi dan bisa membeli tiket di dalam kereta dengan membayar dalam mata uang euro. 

Seolah mendapat angin segar, saya langsung bangkit dan minta ditunjukkan mana kereta yang akan berangkat ke Budapest.  Di tengah hujan salju makin deras dan salju yang sudah sampai setinggi mata kaki di lintasan kereta, saya berusaha bertanya kepada petugas polisi yang lagi-lagi tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Saya girang setengah mati sekaligus menangis senang karena akhirnya bisa naik kereta ke Budapest. Tanpa tersadar saya berteriak Allahu Akbar kuat-kuat (di gerbong saat itu tidak ada orang selain saya). Saya percaya itu adalah jawaban atas zikir yang tidak putus saya lantunkan dari malam tadi.

Saat  mau membayar uang tiket kereta, perasaan saya mengatakan bahwa saya sedang ditipu. Tapi apapun dan berapapun yang diminta petugasnya, akan saya ikuti. Pokoknya saya ingin kembali ke Budapest. Benar saja, petugas pemeriksa karcis di kereta meminta saya membayar 35 euro! Benar-benar suatu kecurangan dibekas negara sosialis. Saya teringat cerita kawan saya, betapa korupsi dan pencurian adalah hal biasa di jaman sosialis. Jadi saya tidak terlalu kaget ketika mengalaminya, walaupun mangkel setengah mati.  Hal berikutnya yang perlu saya cari adalah meminjam telepon untuk mengirim sms memberitahukan bahwa saya akan kembali ke stasiun Budapest Keleti P.U pukul 11.00 hari itu.

Karena terlalu lelah, saya pun tertidur dalam kereta dan baru terbangun sekitar 2 jam kemudian saat seorang pemuda duduk di depan saya. Saat melihat dia meletakkan HP-nya di meja di depan kami, dan memberanikan diri meminta izin untuk mengirim 1 sms kepada kawan saya untuk memberitahukan waktu kedatangan saya di Budapest dan stasiun mana saya akan tiba. Astaga, ternyata lagi-lagi orang Hungaria jarang yang bisa berbicara dalam Bahasa Inggris.

Kelak saya diberi tahu bahwa di bekas negara sosialis kita selalu bisa beli tiket di kereta. Tapi harus berani ngotot bicara kalau kita tahu sedang ditipu karena petugas menaikkan harganya. Waduh, pikiran naif saya awalnya tetap menganggap bahwa di sini sama ketatnya dengan di Kanada. Kalau ketahuan tidak punya tiket dan naik kereta, polisi Kanada akan langsung menciduk si penumpang gelap dan turun di stasiun berikutnya, tidak perduli alasannya.  

Bagaimanapun, pengalaman adalah guru yang berharga dan pelajaran semacam ini tidak mungkin saya dapati dalam buku-buku pelajaran atau catatan perjalanan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun