Mohon tunggu...
Dvi Shifa
Dvi Shifa Mohon Tunggu... profesional -

Am I global citizen? Just an ordinary Indonesian citizen and am sad to see that my homeland has entered "a crisis of identity" phase.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Turun dari Kereta Karena Tidak Ada Visa Masuk

5 Juni 2016   09:27 Diperbarui: 5 Juni 2016   15:28 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah hujan salju yang mulai turun dan di pagi buta itu, saya nekad jalan sendiri ke luar stasiun mencari tahu sekiranya ada tempat penukaran mata uang asing di sana atau ATM.  Dengan membawa semua peralatan tempur dan perbekalan saya (chicken burger dari Burger King) saya menyusuri jalan beraspal sekitar hampir 30 menit dan tidak menemukan apapun. Rasanya suhu udara lebih dingin dibandingkan malam sebelumnya, karena sekarang ditambah hujan salju. Saya memutuskan kembali ke stasiun kereta dan kali ini berharap bisa bertanya dengan calon penumpang tentang lokasi ATM dan saya akan duduk persis di depan loket penjualan karcis, dengan tujuan si penjual karcis akan berbaik hati memberikan saya solusi lainnya. Intinya saya hanya ingin kembali ke Budapest sesegera mungkin!!  Sayangnya, upaya saya belum membuahkan hasil apapun.

Waktu terus berjalan dan sampai pukul 5:30 pagi saya masih belum bisa beranjak dari situ. Karena merasa lapar, saya makan chicken burget yang sudah membeku karena saya bawa serta saat berjalan keluar mencari lokasi ATM.

Si gadis penjaga loket tiket seolah tidak memerdulikan saya, karena membiarkan saya tertinggal kereta pertama pukul 04:41 tadi. Antara perasaan lelah dan mengantuk serta sedikit putus asa, saya terus berdoa berharap bahwa akan terjadi sedikit keajaiban atau datang pertolongan entah dari mana. Kereta berikutnya ke Budapest adalah pukul 07:00 pagi dan selanjutnya pukul 12:10 siang.  Apapun yang terjadi saya ingin naik kereta pagi dan tidak mau berada di sini sampai siang hari.

Orang-orang mulai berdatangan ke stasiun dan rupanya hujan salju makin deras di luar sana.  Waduh, moga-moga tidak ada kereta terlambat karena rel tertutup salju tebal dan susah dilewati. saya mencoba bertanya kepada mereka apakah mereka di mana letak ATM terdekat. Dengan bersusah payah menggunakan bahasa tarzan, ternyata tidak ada orang yang bisa memberikan jawaban di mana lokasi ATM. Percuma saja yang mencoba menggunakan kata Bankomat (= ATM), karena tak seorang pun bisa memberikan jawaban memuaskan untuk saya.

Dengan menjalankan strategi tampang putus asa dan terus berdoa dalam hati, saya kembali duduk di depan loket penjualan tiket kereta dan kembali berharap si gadis penjaga loket akan iba hatinya. Saya semakin putus asa ketika waktu sudah menunjukkan pukul 6:15 pagi. Namun tiba-tiba si gadis penjaga loket menghampiri saya dengan bahasa tarzan mencoba memberitahukan bahwa saya bisa naik kereta ke Budapest yang jam 7 pagi dan bisa membeli tiket di dalam kereta dengan membayar dalam mata uang euro. 

Seolah mendapat angin segar, saya langsung bangkit dan minta ditunjukkan mana kereta yang akan berangkat ke Budapest.  Di tengah hujan salju makin deras dan salju yang sudah sampai setinggi mata kaki di lintasan kereta, saya berusaha bertanya kepada petugas polisi yang lagi-lagi tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Saya girang setengah mati sekaligus menangis senang karena akhirnya bisa naik kereta ke Budapest. Tanpa tersadar saya berteriak Allahu Akbar kuat-kuat (di gerbong saat itu tidak ada orang selain saya). Saya percaya itu adalah jawaban atas zikir yang tidak putus saya lantunkan dari malam tadi.

Saat  mau membayar uang tiket kereta, perasaan saya mengatakan bahwa saya sedang ditipu. Tapi apapun dan berapapun yang diminta petugasnya, akan saya ikuti. Pokoknya saya ingin kembali ke Budapest. Benar saja, petugas pemeriksa karcis di kereta meminta saya membayar 35 euro! Benar-benar suatu kecurangan dibekas negara sosialis. Saya teringat cerita kawan saya, betapa korupsi dan pencurian adalah hal biasa di jaman sosialis. Jadi saya tidak terlalu kaget ketika mengalaminya, walaupun mangkel setengah mati.  Hal berikutnya yang perlu saya cari adalah meminjam telepon untuk mengirim sms memberitahukan bahwa saya akan kembali ke stasiun Budapest Keleti P.U pukul 11.00 hari itu.

Karena terlalu lelah, saya pun tertidur dalam kereta dan baru terbangun sekitar 2 jam kemudian saat seorang pemuda duduk di depan saya. Saat melihat dia meletakkan HP-nya di meja di depan kami, dan memberanikan diri meminta izin untuk mengirim 1 sms kepada kawan saya untuk memberitahukan waktu kedatangan saya di Budapest dan stasiun mana saya akan tiba. Astaga, ternyata lagi-lagi orang Hungaria jarang yang bisa berbicara dalam Bahasa Inggris.

Kelak saya diberi tahu bahwa di bekas negara sosialis kita selalu bisa beli tiket di kereta. Tapi harus berani ngotot bicara kalau kita tahu sedang ditipu karena petugas menaikkan harganya. Waduh, pikiran naif saya awalnya tetap menganggap bahwa di sini sama ketatnya dengan di Kanada. Kalau ketahuan tidak punya tiket dan naik kereta, polisi Kanada akan langsung menciduk si penumpang gelap dan turun di stasiun berikutnya, tidak perduli alasannya.  

Bagaimanapun, pengalaman adalah guru yang berharga dan pelajaran semacam ini tidak mungkin saya dapati dalam buku-buku pelajaran atau catatan perjalanan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun