Di Indonesia, masyarakat yang berkumpul dapat dipastikan menyeruput secangkir kopi sambil berbincang. Dari muda mudi yang nongkrong santai di kafe, hingga bapak-bapak yang meminum kopi agar tidak mengantuk ketika menonton pertandingan bola menjadikan kopi sebagai salah satu sajian yang Indonesia banget.
Tren kopi sendiri mulai berubah beberapa tahun belakang ketika awalnya kopi hanya menjadi minuman yang dinikmati berubah menjadi sebuah gaya hidup.
Tak jarang pula masyarakat Indonesia hanya membeli kopi agar tidak ketinggalan tren walaupun sebetulnya mereka tidak suka kopi.
Ayah saya selalu berkata “Kopi itu digiling, bukan digunting!” kepada setiap orang yang ketika bertemu dengannya sedang meminum kopi bungkus. Walaupun terkesan sarkastis, celetukan impulsif beliau menyadarkan saya bahwa sajian kopi menjadi minuman yang dapat dinikmati dari berbagai kalangan masyarakat.
Jika membutuhkan adrenalin dalam bentuk mudah, kita bisa menyeduh kopi bungkus yang memberikan kita adrenalin ketika kita meminumnya.
Dengan varian yang banyak serta harganya yang terjangkau menjadikan kopi bungkus menjadi jenis kopi yang dinikmati mayoritas penduduk Indonesia.
Lain hal ketika para penikmat kopi sejati yang terkadang anti dengan kopi bungkus dan menikmati kopi yang diproses secara perlahan demi mempertahankan cita rasa yang dimilikinya.
Jika kopi menjadi sajian yang dinikmati masyarakat Indonesia, para petani kopi tidak bisa menikmati hasil dari panen mereka dikarenakan pengaruh local bossism di daerah mereka.
Local bossism secara konseptual merupakan sebuah tokoh yang berkuasa di sebuah lingkungan masyarakat. Local bossism atau biasa juga disebut local strongman sangat amat bergantung pada sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat.
Dengan kekuatan dan influence yang mereka miliki, memonopoli perekonomian menjadi hal yang mudah dilakukan. Minimnya kontrol sosial yang menjadikan aktor ini melalngang buana di daerah di Indonesia.
Sudah berbagai cara dilakukan demi mengurangi kekuatan yang ia miliki, namun belum ada cara pakem yang dapat menghentikan kekuatan aktor tersebut.
Terlebih lagi, banyak masyarakat yang hanya ‘menurut’ dikarenakan hidup mereka bergantung pada strongman yang berkuasa di daerah tersebut.
Isu local strongman juga dijumpai di Desa Loa, Kabupaten Bandung tempat saya menghabiskan satu bulan terakhir meneliti perihal program perhutanan sosial yang diimplementasikan di daerah tersebut. Local strongman di Desa Loa hadir dalam bentuk tengkulak yang memonopoli seluruh hasil tani masyarakat Loa.
Berdasarkan cerita-cerita dari masyarakat sekitar, 12 tengkulak yang berkuasa dan memonopoli distribusi komoditas unggulan Desa Loa yaitu Kopi.
Banyaknya tengkulak yang berada di satu daerah tersebut yang menjadikan para petani kopi tidak mendapatkan imbalan yang setimpal dengan apa yang terlah mereka lakukan semasa bertani kopi. Para tengkulak tersebut juga bekerja sama dengan kompak menawarkan harga pembelian ceri yang sama.
Ceri merupakan istilah buah kopi yang masih berwarna merah sebelum melalui proses roasting dan lainnya. Para petani tersebut pun terpaksa menjual ceri hasil panen mereka ke tengkulak tersebut dikarenakan mereka tidak mempunyai pilihan lain. Hanya tengkulak yang memiliki alat yang dapat memproses biji ceri untuk bisa dijual ke pasar.
Sementara petani belum mempunyai alat tersebut dan untuk membeli alat tersebut pun tidak mudah dikarenakan harganya yang cukup mahal.
Keterbatasan yang mereka miliki menjadi sebuah kelemahan yang terus menerus dieksploitasi oleh para tengkulak. Permasalahan yang terus menerus mengulang tersebut yang dieksploitasi para tengkulak untuk meraup keuntungan. Namun, perlahan monopoli yang dilakukan oleh para tengkulak menghilang.
Hal tersebut dimulai ketika pembangunan koperasi Desa Loa yang didalamnya menghimpun seluruh petani kopi di desa tersebut.
Selain itu, adanya bantuan-bantuan dari pihak eksternal berupa mesin-mesin roasting yang menjadikan para petani tidak harus menjual seluruh buah ceri ke tengkulak.
Petani bisa mengolah ceri tersebut di koperasi walaupun koperasi sendiri belum mampu mengolah seluruh hasil panen dari petani.
Local strongman yang ada di Desa Loa memang bukan berupa sebuah tokoh yang memiliki pengaruh politik yang kuat. Walaupun tidak memiliki pengaruh politik yang kuat, para tengkulak memiliki power yang kuat sehingga mereka dapat memonopoli hasil panen masyarakat desa.
Dengan power yang dimiliki tersebut masyarakat terpaksa menuruti keinginan para tengkulak dan akan sulit lepas dari cengkeraman mereka.
Walaupun begitu, para petani tetap setia pada profesi tersebut. Sadar ataupun tidak hal yang mereka lalui hingga saat ini sudah cukup sulit, panjang, dan penuh perjuangan.
Para petani berusaha untuk memberikan yang terbaik dan selalu memegang kepercayaan bahwa nasib mereka akan berubah suatu saat nanti.
Kepercayaan yang mereka pegang dan kesetiaan berbuah manis ketika seiring berjalannya waktu para petani di Desa Loa berhasil membuat sebuah kolektif berupa koperasi yang dalam perjuangannya dapat sedikit demi sedikit mengurangi monopoli yang dilakukan para tengkulak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H