"Satu Biji Beras Sama Dengan Seribu Kerigat Petani". Kalimat ini merupakan suatu gambaran jelas bagaimana kerasnya usaha seorang petani untuk menghasilkan beras yang menjadi bahan pangan nomor satu di Indonesia. Dalam pengandaian itu, dapat kita rasakan bahwa pengorbanan petani terhadap kita semua tentu sudah tidak ternilai lagi harganya dan sudah sepatutnya kita merasa berhutang atas apa yang telah mereka hasilkan dan telah kita nikmati selama ini.
Banyak orang beranggapan bahwa petani itu identik dengan kemiskinan. Hal itu tidak salah, karena pada kenyataannya di Indonesia petani memang barang murah dalam sudut pandang ekonomi. Bahkan dalam pernyataan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat berkunjung ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tanggal 6 September 2017 dalam rangka Dies Natalies IPB menyampaikan bahwa lulusan IPB kini hanya tinggal gelar dan sangat jarang yang mengarah ke pertanian. Bahkan disebutkan kebanyakan lulusan IPB justru berbelok ke arah kerja yang lain seperti bank pada BUMN dan manager pada perusahaan-perusahaan swasta lainnya.
Dari kasus IPB yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa memang sudah menjadi suatu pandangan yang lumrah tentang "Petani adalah untuk rakyat miskin". Banyak orang di Indonesia yang memandang sebelah mata pekerjaan sebagai petani karena berbagai alasan. Ada yang berasumsi bahwa menjadi petani itu tidak sehat karena selalu berdampingan dengan lumpur dan kotoran, ada yang berpandangan bahwa petani itu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa berfikir -- orang tidak tamat SD saja bisa jadi petani --, dan bahkan kini angka kesejahteraan petani di Indonesia sangatlah rendah.
Seperti yang dikatakan mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar (2017) bahwa pada saat ini masih ada 39 juta petani yang miskin dan tidak punya lahan memadai. (Petani) rata-rata hanya punya lahan di bawah 500 meter. Jika tidak ada lahan para petani ini memilih lari dari kenyataan. Dan ini alasan mengapa petani kita tidak bisa berkembang layaknya petani luar yang terus bertambah kesejahteraan hidupnya, baik dari segi ekonomi, kehidupan yang layak serta tidak didukungnya petani lokal dalam mengembangkan dam menumbuhkan usaha mereka.
Pada kenyataannya sektor agraria Indonesia yang identik dengan pertanian masih sangat kurang dalam hal penentuan nasib serta angka kelayakan hidup bagi petani. Kesenjangan hidup masih sangat terasa bagi mereka yang menekuni profesi sebagai petani. Indonesia memiliki memori yang pernah diciptakan pada era orde lama, tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang yang ditulis pada tahun 1960 ini menjanjikan suatu kegembiraan pada Indonesia khususnya pada petani.Â
Pada undang-undang ini secara jelas dituliskan bahwa "meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk kemakmuran dan kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutana rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur". Dalam kalimat yang telah dicetak tebal, dinyatakan bahwa kemakmuran dan keadilan yang dibuat pada undang-undang ini ialah dikhususkan untuk para tani Indonesia.Â
Namun dari masa feodal hingga berkuasanya masa reformasi, kesenjangan masih tetap dirasakan oleh rakyat tani. Bagaimana tidak, meskipun ada institut yang secara gamblang di cap memiliki tanggung jawab dibidang pertanian, namun masih saja menyimpang dari sasaran yang seharusnya dicapai tentang dunia pertanian. Harapan tentang akademisi yang langsung mengurus dan menghidupkan kembali sektor pertanian, justru mereka yang kurang pengetahuan tentang pertanian yang lebih banyak memilih untuk menekuni dunia pertanian.
Laporan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS yang digelar Agustus 2016 menyebutkan 37,8 juta orang bekerja pada sektor pertanian. Dalam laporan itu diketahui pekerja pertanian paling banyak adalah lulusan SD 39,4 persen dan tak tamat SD 30 persen. Lulusan SMP hanya 16,6 persen, lulusan SMA/SMK 12.8 persen.Â
Mereka yang lulus perguruan tinggi hanya 1,3 persen. Dari survei tersebut jelas bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bekerja pada sektor pertanian masih sangat rendah, hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo, di mana sebagian lulusan IPB yang merupakan SDM unggul di bidang pertanian malah berbelok arah ke sektor lain.
Sebagai bangsa yang ingin maju dan ingin mewujudkan keadilan sosial harus dapat mengentaskan permasalahan disektor agraria khususnya pertanian yang menyangkut langsung tentang kelangsungan hidup para petani. Dengan mendukung program pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia menjadi negara maju -- Sustainable Development Goals (SDGs) -- yang tercantum dalam tujuan kedua dari 17 pilar SDGs tentang "Tanpa Kelaparan" yang didefinisikan menjadi Menghilangkan Kelaparan, Mencapai Ketahanan Pangan Dan Gizi Yang Baik, Serta Meningkatkan Pertanian Berkelanjutan, maka penulis bermaksud untuk menggali lebih dalam mengenai tujuan SDGs tersebut.
Dalam tujuan kedua SDGs tentang "Tanpa Kelaparan" ini, terdapat beberapa poin yang tercantun dalam buku ringkasan metadata indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), dan dalam indikator nomor 2.3.1 dan nomor 2.3.2 disebutkan tentang rupiah per tenaga dan rata-rata produsen pertanian skala kecil menurut jenis dan status adat. Hal ini sangat berkaitan dengan pertayaan "bagaimana meningkatkan kualitas hidup petani dengan meninjau dari segi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup" yang kini secara perlahan dijawab oleh pemerintah melalui program kerja Kementerian Pertanian Republik Indonesia tentang peningkatan kedaulatan pangan yang juga merupakan point ke-7 dari agenda Nawacita Presiden Joko Widodo.Â
Strategi Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk mencapai pembangunan pertanian dan ketahanan pangan nasional adalah melalui berbagai terobosan diantaranya pengadaan alat dan mesin pertanian 180 ribu unit, rehabilitasi jaringan irigasi seluas 3,05 juta ha, peningkatan indeks pertanaman, asuransi pertanian (675 ribu ha). Terobosan lainnya adalah pembangunan lumbung pangan perbatasan, integrasi jagung dan sawit, peningkatan produksi daging melalui SIWAB (semua betina wajib bunting), pembangunan 3.771 unit embung/long storage/dam parit, pengadaan benih unggul untuk padi, jagung, kedelai, cabai, bawang, dan lainnya, pengendalian impor pangan strategis dan stabilisasi harga pangan melalui TTI (Toko Tani Indonesia). Melalui berbagai terobosan tersebut, pembanguan pertanian dan ketahanan pangan sudah memberikan hasil positif sehingga sangat penting sebagai modal dasar untuk mencapai Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia tahun 2045.
Meskipun Indonesia telah memiliki program yang sangat unggul dibidang pertanian dan sangat memadai dalam hal pengaplikasian di lapangan, namun perlu diperhatikan kembali, apabila pemerintah tidak mampu menyentuh hati masyarakat dan tidak mampu menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan hal tersebut, maka program-program tersebut hanya akan menjadi wacana semata, dan dalam membangun semua itu tentu diperlukan para petani dan calon-calon penerus petani serta usahawan di sektor pertanian yang unggul didalamnya, kemudian Bagaimana strategi pemerintah agar Indonesia tetap konsisten menjaga dan memberdayakan calon-calon maupun para petani serta usahawan di sektor pertanian agar mau dan mampu secara berkelanjutan mengokohkan sektor pertania di Indonesia agar kembali mendunia?
Untuk menyukseskan program pemerintah tersebut, maka dapat ditawarkan solusi sebagai berikut :
Memberikan pendidikan kepada petani dan calon-calon petani di desa-desa. Permasalahan sesungguhnya ialah kurang adanya petani dikarenakan rendahnya pengetahuan tentang apa itu petani dan bagaimana itu bertani. Meskipun telah ada sekolah tentang pertanian, namun masyarakat umum -- yang berkeinginan tinggi menjadi suksesor bidang pertanian -- secara finansial belum tentu mampu menempuh pendidikan sampai tingkat itu.
Mengembangkan program redistribusi tanah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo agar diimplementasikan secepatnya ke daerah lain yang tanahnya masih sangat subur dan belum dimanfaatkan. Mengingat ini adalah waktu bonus demografi, maka harus dilakukan infestasi sebesar besarnya kearah itu.
Menciptakan kelompok remaja yang mau, mampu, dan peduli terhadap pertanian, sehingga berbagai program pemerintah dapat berjalan.
Mengaktifkan sistem pengairan subak, sebuah sistem pengairan di Bali yang sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Memperhatikan usaha petani yang kerap putus karena adanya permainan politik kelas atas, Â dengan tujuan agar petani bisa merasakan hasil jerih payah sesuai dengan usahanya sendiri.
SDGs point ke-2 dan Nawacita Point ke-7 memiliki suatu keterkaitan dalam menjawab pertanyaan kesejahteraan petani. Dengan kembali mengangkat inti sari dari UUPA no.5 tahun 1960 dan terus melakukan pembaharuan terhadap sistem pengembangan sekaligus mensejahterakan kehiduan pertanian, maka Indonesia bukan tidak mungkin akan menjadi raja dalam pemasaran produk pertanian di dunia dan sebuah keniscayaan Indonesia akan mengemban gelar sebagai Negara Agraris yang akan menguasai dunia dari sektor Agraria.
Referensi
Abdalla, Faisal. 2017. Nasib Petani Indonesia Masih Terpuruk. http://news.metrotvnews.com/news/GKdgroWk-nasib-petani-indonesia-masih-terpuruk . diunduh taggal 10 Desember 2017.
Nur Rochmi, Muhammad. 2017. Nasib Petani Makin Menderita. Â https://beritagar.id/artikel/berita/nasib-petani-makin-menderita. Diunduh tanggal 12 Desember 2017.
Islahuddin. 2017. Petani Bukan Profesi Dambaan Tapi Terbesar Di Indonesia. https://beritagar.id/artikel/berita/petani-bukan-profesi-dambaan-tapi-terbesar-di-indonesia. Diunduh pada tanggal 13 Desember 2017.
Rachman, Noer Fauzi. 2017. Petani &Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress.
Laporan Tahunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia Tahun 2016.
Ringkasan Metadata Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Tpb)/ Sustainable Development Goals (Sdgs) Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H